Kronologis dari Peristiwa Berdarah 27 Juli 1996
Menarik untuk dicermati adalah pernyataan Bp. SBY saat serah terima jabatan Menko Polkam dari Soerjadi Soedirdja, dalam hal mana Bp. SBY menyatakan bahwa tragedy 27 Juli 1996 “bukanlah perbuatan oknum melainkan perbuatan institusi” dan bahwa pada saat itu beliau (Bp SBY) tidak memegang fungsi komando
Menurut Mantan Kasum ABRI, Bp. Suyono dalam penuturannya kepada Tempo bahwasanya ada Surat Perintah Operasi untuk menyelesaikan persengketaan di internal PDI (kubu Soeryadi Vs Megawati) yang ternyata hilang menurut penyampaian Bp. Syamsir Siregar (ka BIA waktu itu, kini Kepala BIN pemerintahan SBY). Dibagian lain Bp. Suyono juga menegaskan bahwa kasus 27 Juli adalah tanggung jawab Kodam
Bahkan Mantan Ketua Umum PDI Soerjadi juga membenarkan adanya dalam Keterlibatan TNI dalam tragedi berdarah 27 Juli tersebut, Soerjadi juga menambahkan kalau saja Bp. Sutiyoso mau berkisah.
Bahwa jajaran petinggi TNI terlibat, adalah sesuatu yang diketahui umum, bahkan berdasar kesaksian Thomas Resmow saat di pengadilan mengatakan bahwa TNI sengaja membiarkan peristiwa itu terjadi dan melihat Bp. Sutiyoso dan Abu Bakar ada saat penyerbuan Kantor PDI, Jln Diponegoro no. 58. Hanya masalahnya sekarang tidak pernah dapat dibuktikan di pengadilan.
Menarik juga untuk disimak adalah pernyataan Mantan Kapolda Jaya Bp Hamami Nata yang santer disebut sebagai actor yang turut serta dalam rapat-rapat sebelum penyerbuan kantor PDI, dalam pernyataannya Bp. Hamami Nata menegaskan bahwa Soerjadi (mantan Katum PDI) bersih dari keterlibatan dalam tragedy berdarah 27 Juli 1996. Bila Soerjadi tidak terlibat, lalu siapa sebenarnya yang terlibat? Menurut Hamami Nata menegaskan bahwasanya Pemerintah (Rezim OrBa) terlibat dalam tragedi Berdarah 27 Juli 1996 tersebut.
Bila penuturan Jenderal Saurip Kadi dapat dipercaya, maka akan terlihat jelas peran SBY dalam Tragedi Berdarah 27 Juli 1996, dalam hal mana Jenderal Saurip Kadi menjelaskan bahwasanya SBY saat itu adalah Kasdam, dan sebagai Kasdam adalah menjadi tugasnya sebagai orang nomer dua setelah Sutiyoso yang bertugas untuk menyediakan logistic dan pasukan
Yang perlu dicermati lagi adalah Laporan akhir Komnas HAM tentang pertemuan tanggal 24 Juli 1996 di Kodam Jaya dipimpin oleh Kasdam Jaya Brigjen Susilo Bambang Yudhoyono. Hadir pada rapat itu adalah Brigjen Zacky Anwar Makarim, Kolonel Haryanto, Kolonel Joko Santoso, dan Alex Widya Siregar. Dalam rapat itu, SBY memutuskan penyerbuan atau pengambilalihan kantor DPP PDI oleh Kodam Jaya.
Adalah satu hal tidak benar bila menyatakan bahwa Ibu Megawati tidak perduli dengan korban tragedi berdarah 27 Juli 1996. Pernyataan seperti itu merupakan “pelintiran sejarah” karena diketahui persis bahwasanya Ibu Megawati telah berulang kali berusaha untuk membuka kembali kasus 27 Juli 1996 dalam persidangan pengadilan, namun sayangnya pengadilan telah menisbikan semua kesaksian yang ada, Hal ini mengingat bahwa Tragedi Berdarah 27 Juli 1996 memiliki spectrum yang luas dan melibatkan banyak petinggi ABRI hingga rezim OrBa saat itu. Bahkan pada saat membuka kembali kasuss tersebut Ibu Megawati banyak dituduh lawan politiknya Ibu Megawati banyak dituduh lawan politiknya (sebagai mencari popularitas dalam menghadapi Pilpres 2004. Juga banyak orang mempertanyakan apakah motif Ibu Megawati dalam menyerahkan kasus tragedi berdarah 27 Juli 1996 ke pengadilan sebagai usaha mencari keadilan atau balas dendam
Sedangkan Ibu Megawati sendiri telah menjelaskan tentang sikapnya dan pilihannya untuk menempuh jalur hukum dan membawa kasus 27 Juli 1996 ke pengadilan sebagaimana diungkapan dalam wawancara selama 3 jam dalam acara Kick Andy di Metro TV
Bila rekan pembaca dan komentator dapat mencermati keseluruhan tulisan dalam postingan Bp. Rj. Sulistyo, maka saya berharap tulisan ini dapat menjadi penyeimbang tulisan Bp. Rj Sulistyo tersebut.
Dari fakta dan link yang saya lampirkan dalam tulisan saya dapatlah diketahui bahwasanya Tragedi Berdarah 27 Juli 1996 melibatkan banyak oknum, dan oknum tersebut tidak saja berasal dari kubu PDI Soerjadi, tetapi juga dari unsure aparat pemerintahan dan jajaran petinggi ABRI saat itu.
Ibu Megawati selaku negarawan, mengutamakan jalur hukum dalam memproses para pelaku traged. berdarah 27 Juli 1996. Dari hal itu dapat dilihat bahwasanya Ibu Megawati mendahulukan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan golongan, meski Ibu Megawati memiliki kesempatan ketika beliau menjabat sebagai Presiden RI ke 5.
Sebagaimana kasus-kasus yang melibatkan banyak petinggi negara, maka demikian pula halnya dengan kasus tragedi Berdarah 27 Juli 1996, yang akhirnya sampai sekarang tidak pernah dituntaskan. Bila dituntaskan, mungkin semua hasil Pemilu baik 2004 ataupun 2009 harus diulang…..
Wahai para oknum pelaku Tragedi Berdarah 27 Juli 1996… mungkin sekarang anda bisa tertawa karena bisa lolos dari jerat hukum pengadilan dunia…
Liputan6.com, Jakarta: Mantan Kepala Kepolisian Daerah Metro Jakarta Raya Mayor Jenderal Hamami Nata mengakui pemerintah keterlibatan pemerintah dalam Tragedi 27 Juli. Menurut Hamamai, saat itu, pemerintah telah memerintahkannya untuk melakukan penyerbuan terhadap Kantor Dewan Pimpinan Pusat PDI Perjuangan di Jalan Diponegoro Jakarta, pada 27 Juli 1996 itu. Demikian diungkapkan Hamami seusai diperiksa selama delapan jam lebih oleh Tim Penyidik Kasus 27 Juli di Markas Pusat Polisi Militer Jakarta, baru-baru ini.
Pemeriksaan Hamami Nata itu adalah pemeriksaan yang kedua kalinya. Kali ini, penyidik bermaksud memeriksa apa yang dikerjakan mantan Kapolda Metro Jaya itu saat Tragedi 27 Juli berlangsung. Penyidik mengajukan 39 pertanyaan mengenai keterlibatan Hamami. Mantan petinggi Kepolisian itu akhirnya mengakui juga keterlibatannya. Menurut ia, tindakan itu dilakukan berdasarkan surat dari Menteri Koordinator Politik dan Keamanan saat itu, Soesilo Soedarman.
Pengakuan Hamami itu bertentangan dengan pernyataan Pemerintah yang selalu membantah terlibat dalam peristiwa Sabtu Kelabu. Begitu pula dengan Kuasa Hukum Hamami Nata O.C. Kaligis yang juga sempat membantah keterlibatan kliennya. Namun, Kaligis kini mengakui Hamami Nata resmi menjadi tersangka. Selain Hamami, beberapa nama lain juga disebut-sebut keterlibatannya dalam peristiwa 27 Juli. Di antaranya, mantan Panglima Daerah Militer Jaya Sutiyoso yang kini menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, serta mantan Kepala Badan Intelijen ABRI Zacky Anwar Makarim.(HFS/Bayu Sutiyono dan Satya Pandia
Pemeriksaan Hamami Nata itu adalah pemeriksaan yang kedua kalinya. Kali ini, penyidik bermaksud memeriksa apa yang dikerjakan mantan Kapolda Metro Jaya itu saat Tragedi 27 Juli berlangsung. Penyidik mengajukan 39 pertanyaan mengenai keterlibatan Hamami. Mantan petinggi Kepolisian itu akhirnya mengakui juga keterlibatannya. Menurut ia, tindakan itu dilakukan berdasarkan surat dari Menteri Koordinator Politik dan Keamanan saat itu, Soesilo Soedarman.
Pengakuan Hamami itu bertentangan dengan pernyataan Pemerintah yang selalu membantah terlibat dalam peristiwa Sabtu Kelabu. Begitu pula dengan Kuasa Hukum Hamami Nata O.C. Kaligis yang juga sempat membantah keterlibatan kliennya. Namun, Kaligis kini mengakui Hamami Nata resmi menjadi tersangka. Selain Hamami, beberapa nama lain juga disebut-sebut keterlibatannya dalam peristiwa 27 Juli. Di antaranya, mantan Panglima Daerah Militer Jaya Sutiyoso yang kini menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, serta mantan Kepala Badan Intelijen ABRI Zacky Anwar Makarim.(HFS/Bayu Sutiyono dan Satya Pandia
Misteri di Balik Peristiwa 27 Juli
Tanggal 30 September 1965 malam, Kolonel Latief menemui Jenderal Soeharto di Rumah Sakit Angkatan Darat Gatot Subroto untuk menjenguk anak Soeharto yang sedang sakit, Tommy. Dalam pertemuan singkat itu, Latief—menurut pengakuannya—memberitahukan Soeharto tentang adanya gerakan sejumlah perwira Angkatan Darat yang ingin menculik beberapa jenderal. Soeharto tidak bereaksi apa-apa atas laporan Latief. Beberapa jam kemudian, peristiwa G30S/PKI pun pecah. Kenapa? Soeharto selaku Panglima Kostrad tidak mengambil tindakan apa pun setelah mendapat laporan dari Kolonel Latief yang notabene adalah eks anak-buahnya sendiri? Kalau benar apsa yang dituturkan Latief dalam biografinya yang diterbitkan pada tahun 2000, Soeharto memang pantas dicurigai terlibat dalam G30S. Paling tidak, dia sudah tahu akan aksi berdarah sejumlah oknum Angkatan Darat, namun dia tidak ambil action sama sekali. No action, dalam jargon politik, bisa diartikan ”setuju” atau ”merestui” tindakan orang lain yang telah diketahuinya.
Dalam peristiwa 27 Juli 1996—pengambilalihan dengan kekerasan kantor Dewan Pimpinan Pusat. Partai Demokrasi Indonesia (DPP PDI) Pusat di Jalan Diponegoro— Megawati Soekarnoputri sebenarnya juga sudah mengetahui, ketika sehari sebelum kejadian, Jenderal Benny Moerdani meneleponnya. Sebagai perwira Angkatan Darat yang selama puluhan tahun bertugas di bidang intel, informasi Benny pasti bisa di kualifikasikan ”A-l”; dalam arti, kebenarannya tidak perlu diragukan, Perihal komunikasi antara Benny dan Ibu Mega ini, diungkapkan RO Tambunan tanggal 22 Juli yang baru lalu dalam suatu acara peringatan ”6 tahun peristiwa 27 Juli”. Seperti diketahui, Tambunan adalah mantan Ketua Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), tim pengacara yang dibentuk oleh DPP PDI untuk menegakkan keadilan seputar kasus ini. Sebagai orang yang ketika itu mempunyai hubungan yang sangat dekat dengan Mega, kita yakin, pernyataan Tambunan memiliki bobot kebenaran yang juga, tidak perlu diragukan. Sumbernya, pasti, dari Megawati sendiri. Analog kedua peristiwa di atas, mungkin, dinilai sangat tidak relevan. Pada peristiwa pertama, Soeharto dalam kapasitasnya sebagai Pangkostrad, kiranya dapat mencegah meletusnya G30S/PKI setelah ia mendengar laporan Latief. Toh, ia tidak bertindak apa-apa dan membiarkan pasukan Letnan Kolonel Untung dan kawan-kawan menculik para petinggi TNI-AD. Dalam peristiwa 27 Juli, Megawati dalam posisi tidak berkuasa seperti Soeharto dulu. Ia tidak berdaya untuk mencegah penyerbuan terhadap kantor partainya, pun setelah ia memperoleh informasi tentang rencana penyerbuan itu. Tapi, bukankah Mega selaku Ketua Umum PDI dapat segera memerintahkan para kadernya yang berada di dalam kantor DPP untuk keluar dan gedung itu? Dalam suatu wawancara dengan majalah Forum (26 Agustus 1996), Mega mengaku sudah sering mendengar kemungkinan kantor DPP PDI diserbu oleh aparat keamanan, sehubungan dengan aksi-aksi ”Mimbar Bebas” yang membuat telinga penguasa merah. Tapi, karena sejauh itu berita-berita tadi berlalu begitu saja, maka ia kemudian tidak pernah memperhatikannya secara sungguh-sungguh. Dalam konteks perpolitikan dewasa ini, fakta bahwa Megawati sebelumnya sudah mengetahui rencana aparat menyerbu kantor DPP PDI menimbulkan berbagai kecurigaan negatif terhadap kepemimpinannya. Mungkinkah Mega sengaja membiarkan peristiwa itu terjadi karena perhitungan politik tertentu? Bukankah peristiwa semacam ini—apalagi dilanjuti dengan aksi-aksi pembakaran di beberapa bagian Ibukota—dapat merusak citra pemerintahan Soeharto, mengundang sorotan tajam dunia internasional, sekaligus mengusik simpati masyarakat luas kepada Megawati? Ya, sejarah mencatat Tragedi 27 Juli 1996 memang menimbulkan aib besar bagi rezim Soeharto. Faktanya, Soeharto akhirnya gagal mengganjal Megawati menjadi pimpinan tertinggi PDI, karena massa PDI di bawah (grassroot) terus menerus memberikan dukungannya pada kepemimpinan Mega, sekaligus menjauhkan diri dari Soerjadi yang diyakini hanya boneka Soeharto. Sesungguhnya, kejadian 27 Juli 1996 membawa blessing in disquise yang amat dahsyat bagi Megawati! Jika sejarah boleh diputar balik, mungkin kita bisa mengatakan bahwa tanpa kejadian 27 Juli, nasib Mega barangkali takkan seperti hari ini.
Toh, Mega seyogianya menyadari betul bahwa blessing yang diperolehnya, sebagian, harus dibayar dengan nyawa kader-kadernya. Berapa sesungguhnya korban yang tewas dalam penyerbuan biadab itu, angka pasti tetap tidak diketahui. Komnas HAM dalam laporan resminya pada 12 Oktober 1996, hanya menyebut lima orang tewas, 149 luka dan 13 hilang. Seyogianya Mega tidak boleh menyia-nyiakan pengorbanan mereka, antara lain, dengan berupaya sekuat tenaga untuk menyeret para pelaku, khususnya mastermind-nya, ke meja hijau untuk mendapatkan hukuman yang setimpal. Tapi, Mega tampaknya tidak melakukan hal itu. Masyarakat, terutama kader-kader PDIP, memperoleh persepsi kuat bahwa Mega—secara langsung atau tidak langsung—sengaja merekayasa untuk menutup kasus 27 Juli. ”Uang islah” sebesar Rp 10 juta untuk tiap-tiap korban yang dibagikan pada Nopember tahun lalu merupakan suatu indikasi yang mendukung kecurigaan ini. Dukungannya yang tanpa reserve terhadap pencalonan kembali Sutiyoso sebagai Gubernur DKI memperkuat indikasi tadi, sebab semua orang tahu who is Sutiyoso.
Toh, Mega seyogianya menyadari betul bahwa blessing yang diperolehnya, sebagian, harus dibayar dengan nyawa kader-kadernya. Berapa sesungguhnya korban yang tewas dalam penyerbuan biadab itu, angka pasti tetap tidak diketahui. Komnas HAM dalam laporan resminya pada 12 Oktober 1996, hanya menyebut lima orang tewas, 149 luka dan 13 hilang. Seyogianya Mega tidak boleh menyia-nyiakan pengorbanan mereka, antara lain, dengan berupaya sekuat tenaga untuk menyeret para pelaku, khususnya mastermind-nya, ke meja hijau untuk mendapatkan hukuman yang setimpal. Tapi, Mega tampaknya tidak melakukan hal itu. Masyarakat, terutama kader-kader PDIP, memperoleh persepsi kuat bahwa Mega—secara langsung atau tidak langsung—sengaja merekayasa untuk menutup kasus 27 Juli. ”Uang islah” sebesar Rp 10 juta untuk tiap-tiap korban yang dibagikan pada Nopember tahun lalu merupakan suatu indikasi yang mendukung kecurigaan ini. Dukungannya yang tanpa reserve terhadap pencalonan kembali Sutiyoso sebagai Gubernur DKI memperkuat indikasi tadi, sebab semua orang tahu who is Sutiyoso.
Dialah pemegang komando aparat keamanan di Ibukota ketika peristiwa 27 Juli terjadi. Dan keterlibatan aparat keamanan dalam tragedi 27 Juli kiranya tidak bisa ditutup-tutupi lagi. Mega sendiri dalam suatu.wawancara terang-terangan mengatakan: ”.....penyerbuan dilakukan bukan oleh orang-orang yang menyebut dirinya pro-kongres, tapi, kelihatan sekali campur tangan aparat.” Sebagai Panglima Kodam Jaya, Sutiyoso jelas tidak bisa cuci-tangan. Sesugguhnya, Sutiyoso sudah resmi menjadi salah satu tersangka dalam kasus ini. But that is potitics! Pepatah ”lidah tak bertulang”, sesungguhnya, lebih tepat ditujukan. pada dunia perpolitikan, bukan dunia percintaan. Mengapa para petinggi militer sampai sekarang tidak bisa diajukan ke pengadilan? Ini pun sebuah misteri. Spekulasi mengatakan Mega berhadapan dengan ”Tembok Cina” yang perkasa manakala ia bersikeras untuk meminta pertanggungjawaban hukum para jenderal. Spekulasi lain mengatakan untuk kursi kepresidenannya hingga tahun 2004, bahkan mungkin sampai 2009, Mega membutuhkan dukungan kuat militer. Yang unik, anak buah Mega di DPD DKI kabarnya sedang mempersiapkan mental untuk menolak perintah DPP mendukung pencalonan Sutiyoso dalam pemilihan gubernur baru pada Agustus mendatang. Sejauh mana ”nyali” para anggota DPRD dan Fraksi PDIP itu, uji coba yang akan segera kita lihat adalah sikap mereka terhadap Laporan Pertanggungjawaban (LPj) Sutiyoso yang disampaikan pekan lalu dengan iringan air mata. Beranikah mereka tolak? Jika Dewan menolak LPJ—meskipun sudah memperoleh restu ”Ibu”—Sutiyoso kehilangan landasan moral dan politik untuk terus maju ke pemilihan gubernur. Penulis adalah pengamat politik, doktor ilmu politik dari Universitas Indonesia.
Peristiwa 27 Juli 1996 adalah peristiwa pengambilalihan secara paksa kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Jl Diponegoro 58 Jakarta Pusat yang saat itu dikuasai pendukung Megawati Soekarnoputri. Penyerbuan dilakukan oleh massa pendukung Soerjadi (Ketua Umum versi Kongres PDI di Medan) serta dibantu oleh aparat dari kepolisian dan TNI.
Peristiwa ini meluas menjadi kerusuhan di beberapa wilayah di Jakarta, khususnya di kawasan Jalan Diponegoro, Salemba, Kramat. Beberapa kendaraan dan gedung terbakar.
Pemerintah saat itu menuduh aktivis PRD sebagai penggerak kerusuhan. Pemerintah Orde Baru kemudian memburu dan menjebloskan para aktivis PRD ke penjara. Budiman Sudjatmiko mendapat hukuman terberat, yakni 13 tahun penjara.
Ada dua istilah untuk Peristiwa 27 Juli ini, yaitu:
- Kudatuli. Akronim dari KerUsuhan DuApuluh TUjuh juLI. Pertama kali dimuat di Tabloid Swadesi dan kemudian luas digunakan oleh berbagai media massa. Mayjen TNI (Purn.) Prof. Dr. Soehardiman, SE juga pernah menggunakannya dalam bukunya.
- Sabtu Kelabu. Merujuk pada hari saat terjadinya peristiwa ini yaitu hari Sabtu, kata "kelabu" untuk menggambarkan "suasana gelap" yang melanda panggung perpolitikan Indonesia saat itu. Tidak diketahui pencetusnya, namun diduga semula beredar dalam forum-forum di internet.
Laporan Komnas HAM
Hasil penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia: 5 orang meninggal dunia, 149 orang (sipil maupun aparat) luka-luka, 136 orang ditahan. Komnas HAM juga menyimpulkan telah terjadi sejumlah pelanggaran hak asasi manusia.
Dokumen dari Laporan Akhir Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyebut pertemuan tanggal 24 Juli 1996 di Kodam Jaya dipimpin oleh Kasdam Jaya Brigjen Susilo Bambang Yudhoyono. Hadir pada rapat itu adalah Brigjen Zacky Anwar Makarim, Kolonel Haryanto, Kolonel Joko Santoso, dan Alex Widya Siregar. Dalam rapat itu, Susilo Bambang Yudhoyono memutuskan penyerbuan atau pengambilalihan kantor DPP PDI oleh Kodam Jaya.
Dokumen tersebut juga menyebutkan aksi penyerbuan adalah garapan Markas Besar ABRI c.q. Badan Intelijen ABRI bersama Alex Widya S. Diduga, Kasdam Jaya menggerakkan pasukan pemukul Kodam Jaya, yaitu Brigade Infanteri 1/Jaya Sakti/Pengamanan Ibu Kota pimpinan Kolonel Inf. Tri Tamtomo untuk melakukan penyerbuan. Seperti tercatat di dokumen itu, rekaman video peristiwa itu menampilkan pasukan Batalion Infanteri 201/Jaya Yudha menyerbu dengan menyamar seolah-olah massa PDI pro-Kongres Medan. Fakta serupa terungkap dalam dokumen Paparan Polri tentang Hasil Penyidikan Kasus 27 Juli 1996, di Komisi I dan II DPR RI, 26 Juni 2000.[1]
Latar Belakang
Soeharto dan pembantu militernya merekayasa Kongres PDI di Medan dan mendudukkan kembali Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI. Rekayasa pemerintahan Orde Baru untuk menggulingkan Megawati itu dilawan pendukung Megawati dengan menggelar mimbar bebas di Kantor DPP PDI.
Mimbar bebas yang menghadirkan sejumlah tokoh kritis dan aktivis penentang Orde Baru, telah mampu membangkitkan kesadaran kritis rakyat atas perilaku politik Orde Baru. Sehingga ketika terjadi pengambilalihan secara paksa, perlawanan dari rakyat pun terjadi.
Pasca Orde Baru
Pengadilan Koneksitas yang digelar pada era Presiden Megawati hanya mampu membuktikan seorang buruh bernama Jonathan Marpaung yang terbukti mengerahkan massa dan melempar batu ke Kantor PDI. Ia dihukum dua bulan sepuluh hari, sementara dua perwira militer yang diadili, Kol CZI Budi Purnama (mantan Komandan Detasemen Intel Kodam Jaya) dan Letnan Satu (Inf) Suharto (mantan Komandan Kompi C Detasemen Intel Kodam Jaya) divonis bebas.
Garis waktu
- Pukul 01.00
Di Markas PDI ada sekitar 300 orang yang berjaga -- suatu kebiasaan dilakukan sejak Kongres Medan lalu. Di luar pagar, ada sekitar 50 orang. Satgas dan simpatisan Megawati mulai terlelap dan sebagian ada yang main catur di pinggir pelataran kantor dan juga di Jalan Diponegoro dengan beralaskan terpal.
- Pukul 03.00
Para pendukung Mega mulai mencium sesuatu bakal terjadi, setelah patroli mobil polisi berkali-kali melintas. Sebagian dari mereka mencoba memantau keadaan dari jembatan kereta api Cikini.
- Pukul 05.00
Serombongan pasukan berbaju merah, kaus PDI, bergerak menuju Diponegoro 58. Konon mereka diangkut dengan delapan truk.
- Pukul 06.15
Pasukan berkaus merah tadi akhirnya sampai di depan Kantor PDI dan kedatangan mereka disambut para pendukung Mega dengan lemparan batu. Pasukan merah tadi pun membalas dengan batu dan lontaran api. Maka, spanduk yang menutupi hampir semua bagian depan Kantor PDI terbakar ludes. Bentrok fisik pun tak terhindarkan. Sebuah sumber mengatakan ada empat orang tewas, tapi angka ini belum dikonfirmasi.
Semua jalan menuju ke arah Diponegoro sudah diblokir oleh kesatuan polisi. Perempatan Matraman menuju ke Jalan Proklamasi ditutup dengan seng-seng Dinas Pekerjaan Umum yang sedang dipakai dalam pembangunan jembatan layang Pramuka-Jalan Tambak.
Massa sudah berkumpul di depan Bank BII Megaria. Sedang di samping pos polisi sudah bersiap dua mobil anti huru-hara dan empat mobil pemadam kebakaran persis di depan DPP PDI. Polisi anti huru-hara terlihat ketat di belakang mobil anti huru-hara dan di depan Kantor PDI.
- Pukul 09.15
Di samping Kantor PDI (dan PPP) terlihat massa -- yang tampaknya bukan dari PDI -- sedang baku lempar batu dengan ABRI yang bertameng dan bersenjatakan pentungan. Massa terus melawan dengan melempar batu.
- Pukul 09. 24
Massa di belakang Gedung SMP 8 dan 9, di samping Kantor PDI dan PPP, mulai terdesak mundur ketika ada bantuan pasukan yang tadinya hanya berjaga-jaga di bawah jembatan kereta api. Mereka dipukul mundur sampai di belakang Gedung Proklamasi. Tiga wartawan foto mulai membidik massa yang lari tunggang langgang, Sedang salah seorang wartawan foto mendekati pasukan loreng dan berusaha mengambil gambar. Tiba-tiba seorang wartawan foto -- yang belakangan diketahui bernama Sukma dari majalah Ummat -- terlihat dipukuli pasukan loreng dan diseret bajunya (Lihat berita KOMPAS, 29 Juli 1996). Dari sana Sukma -- dengan menarik bajunya -- dibawa ke belakang Gedung SMP 8 dan 9 Jakarta, tempat pasukan loreng berkumpul yang berjarak 300 meter dari tempat pertama pemukulan.
- Pukul 09. 35
Massa di depan Megaria yang diblokade pasukan polisi anti huru-hara, melempar batu ketika mobil ambulans dari Sub Dinas Kebakaran Jakarta yang meluncur dari kantor DPP PDI mencoba menerobos kerumanan massa dan polisi di depan Bank BII di pertigaan Megaria. Massa yang berada di depan gedung bioskop Megaria dan Bank BII, berteriak-teriak dan bernyanyi, "Mega pasti menang, pasti menang, pasti menang".
- Pukul 09. 45
Wartawan dalam dan luar negeri, yang sedari pagi berkumpul di depan pos polisi, mulai dihalau oleh pasukan anti huru-hara menuju kerumunan massa di depan Bank BII.
Saat itu juga terlihat kepulan asap hitam membubung dari DPP PDI. Salah seorang satgas PDI pro Mega mengatakan bahwa sebagian Kantor PDI sempat dibakar dan arsip-arsip di dalam kantor sudah dimusnahkan. Korban tewas dari PDI pro Megawati yang berada di DPP diperkirakan empat orang. Sekitar 300 orang luka parah, 50 orang diantaranya dari cabang-cabang Jawa Timur yang tengah berjaga-jaga di Kantor PDI.
Jalan Diponegoro di depan DPP PDI mulai dibersihkan dari batu-batu dan bekas kebakaran. Seonggok bangkai mobil dan motor yang terbakar juga disiram dan berada persis di depan pintu masuk Kantor PDI.
- Pukul 11. 30
Ribuan massa terus bertambah dan terpisah letaknya di tiga tempat. Yaitu di depan Bioskop Megaria, di depan BII, serta di depan Telkom, persis di depan jalan tempat Proyek Apartemen Menteng. Mereka menjadi satu kerumunan besar di pos polisi di bawah jembatan kereta api layang. Belum lagi massa dari arah Selatan di bawah jembatan layang kereta api yang sebelumnya dipukul mundur, sudah mulai bergerak maju dan menjadi satu kembali dengan massa besar tadi.
Mimbar bebas pun digelar. Helikopter polisi terus memantau massa yang mulai mengadakan mimbar bebas. Dipandu aktivis pemuda, mimbar bebas menjadi ajang umpatan pada aparat keamanan, dan sanjungan untuk Mega. "Mega pasti menang, pasti menang, pasti menang.....," terus terdengar. Massa yang masih di dalam pagar lintasan kereta api mulai merobohkan pagar besi, lantas menyatu dengan massa peserta mimbar bebas.
- Pukul 11. 40
Massa yang berada di dalam pagar lintasan kereta api mulai melempar batu ke arah aparat yang sudah berjaga-jaga di depan SMP 8 dan 9 Jakarta. Terdengar dari kejauhan massa di mimbar bebas terus berteriak mengecam aparat berseragam loreng. Batu-batu yang beterbangan membuat wartawan berlindung di belakang blokade polisi dan sebagian lagi menyelamatkan diri dengan berlindung di mobil anti huru-hara.
Pihak kepolisian Jakarta Pusat berusaha menenangkan massa yang melempari pasukan dari Yon Kavaleri VII dan Yon Armed 7 Jayakarta. Massa yang terus bergerak membuat pasukan berseragam loreng bertahan di sekitar Jalan Pegangsaan Timur.
Di depan pos polisi, massa yang terus bertambah jumlahnya memenuhi pentas mimbar bebas. Massa di depan bioskop Megaria merobohkan pagar besi pembatas jalan dan bergabung menyaksikan mimbar bebas. Salah seorang tampak berdiri di tengah lingkaran massa dengan membawa tongkat berbendera Merah Putih yang dikibarkan setengah tinggi tongkat. Dia berteriak, "Kita di sini menjadi saksi sejarah. Kawan-kawan kita mati di dalam Kantor PDI. Kita harus menunggu komando langsung dari Ibu Mega," teriaknya lantang. Yang lain menyanyikan, "Satu komando..... satu tindakan." Kemudian ada doa bersama untuk mereka yang tewas.
- Pukul 12. 40
Pihak keamanan meminta utusan mimbar bebas untuk bersama-sama pihak keamanan masuk melihat situasi di dalam Kantor PDI. Lima orang akhirnya dipilih, sementara mimbar bebas terus berjalan.
- Pukul 12. 45
Bantuan polisi dari satuan Sabhara Polda Metro Jaya mulai berdatangan memenuhi jalan depan Kantor PDI. Sedang lima orang utusan di bawah pimpinan Drs. Abdurrahman Saleh, bekas pengurus Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, masuk ke dalam kantor DPP yang porak poranda. Sekitar lima menit berada di dalam Kantor PDI, lima utusan tadi ke luar. Salah seorang wakil utusan, ketika ditanya TEMPO Interaktif tentang bagaimana kondisi di dalam kantor DPP, mengatakan, "Di dalam tidak ada apa-apa; darah berceceran di semua ruangan." Orang ini bercerita sambil menahan tangis; matanya sarat air mata, sambil membawa jaket merah PDI bernama dada Nico Daryanto, mantan Sekretaris Jenderal PDI, dan satu spanduk merah.
Kelima utusan tersebut didaulat naik ke atas mobil anti huru-hara untuk melaporkan keadaan di dalam gedung. Baru beberapa kata terucap dari utusan tadi, sebuah batu melayang entah darimana dan mengenai tangan seorang utusan yang berdiri di atas mobil anti huru-hara. Akhirnya, laporan keadaan Kantor PDI berhenti sampai di situ.
- Pukul 13. 52
Pengacara Megawati, RO Tambunan, berpidato di depan Kantor PDI. Dia mengatakan, "Kita menduduki Kantor DPP karena Megawati adalah pimpinan yang syah. Negara ini adalah negara hukum, jadi tunggu proses hukum selesai," katanya keras. Yang dimaksud Tambunan adalah proses hukum berupa tuntutan Megawati ke alamat Soerjadi dan sejumlah pejabat pemerintah di pengadilan yang sampai kini masih disidangkan, sehingga status Kantor PDI belum diputuskan.
Menurut RO Tambunan, Kapolres Jakarta Pusat sudah berjanji tidak seorang pun diperkenankan masuk, termasuk kubu Soerjadi. Barang-barang tak satu pun boleh keluar dari dalam kantor; pihak pengacara akan mendaftar barang-barang DPP. "Ini negara hukum, kita harus turuti perintah hukum," ujar Tambunan.
- Pukul 14. 05
Soetardjo Soerjogoeritno, salah satu pimpinan DPP PDI yang pro Megawati, tiba-tiba terlihat berjalan mendekati Kantor PDI. Sesaat kemudian Soerjogoeritno bicara dengan Kapolres Jakarta Pusat soal status Kantor PDI.
Massa yang mencoba mendekati Soerjogoeritno dihalau anggota Brimob yang bersiaga dengan anjing pelacak. Tapi, melihat ribuan orang, dua anjing herder itu tak berani bergerak mengejar massa. Massa makin berani. "Kami ini manusia, kok dikasih anjing," kata seseorang marah. Siang itu pula setumpuk koran Terbit yang memberitakan Kantor DPP PDI Diserbu, ramai-ramai dirobek-robek.
- Pukul 14. 29
Hujan batu terjadi. Massa yang di berada depan pos polisi melempari barikade polisi anti huru-hara. Satuan anti kerusuhan itu terpaksa mundur dan berlindung dari hujan batu. Mobil anti huru-hara yang tetap nongkrong di bawah jembatan layang dilempari batu bertubi-tubi. Dua lapis barisan polisi dan tentara bergerak maju. Dengan tameng dan tongkat mereka merangsek maju menghalau massa. Maka, ribuan orang itu beringsut mundur ke arah Salemba.
Ada sekitar seratus orang yang berlindung di dalam gedung Kedutaan Besar Palestina, persis di depan Kantor PDI. Di samping Kantor PDI, di Kantor PPP, terlihat puluhan wartawan berkumpul. Sementara itu, polisi dan tentara mengejar massa sampai di depan Rumah Sakit Cipto (RSCM). Beberapa orang terlihat dipentung dengan rotan. Seorang siswa STM 1 Jakarta, menangis di depan bioskop Megaria -- lengannya patah ketika menangkis pukulan dan pentungan petugas. Di depan Megaria itu suasananya gaduh, ambulans meraung-raung terus menerus. Korban-korban yang bocor kepalanya dan luka-luka diseret ke depan Kantor PDI dan menjadi bidikan foto wartawan.
- Pukul 15. 00
Enam buah panser mulai berdatangan di depan pos polisi Megaria. Persis di depan Rumah Sakit Cipto (RSCM), sebuah bus tingkat dibakar massa. Tak jauh dari bus yang terbakar, satu lagi bus PPD nomor trayek 40, disiram bensin dan dibakar dengan sebuah korek api. Terbakarlah bus jurusan Kampung Rambutan-Kota itu.
- Pukul 15. 37
Persis di depan Fakultas Kedokteran UI Salemba, sebuah bus Patas PPD nomor trayek 2, habis terbakar. Ribuan massa mulai mencabuti rambu-rambu lalu lintas dan menghancurkan lampu lalu-lintas di pertigaan Salemba. Asrama Kowad -- yaitu gedung Persit Kartika Candra Kirana -- merupakan gedung pertama yang diamuk massa. Pertama-tama dengan lemparan batu dari luar, kemudian massa masuk ke halaman, dan membakar gedung tersebut. Sebuah kendaraan jip yang diparkir di halaman dibakar massa, menimbulkan api yang besar.
Wisma Honda yang terletak di sebelah Barat gedung Persit, tak luput dari lemparan batu. Tapi, beberapa jam kemudian, gedung Honda itu pun habis dilalap si jago merah. Massa kemudian bergerak ke arah Selatan dan membakar Gedung Departemen Pertanian yang berlantai delapan. Sebuah sedan Mercy juga dibakar habis.
- Pukul 15. 55
Massa terus bergerak ke arah Matraman. Maka, beberapa gedung pun jadi korban amukan api yang disulut massa. Pertama-tama gedung Bank Swansarindo Internasional. Api yang berasal dari karpet lantai dan korden jendela kaca itu dengan cepat merambat ke atas gedung berlantai lima ini. Show room Auto 2000 yang berada disebelahnya juga tidak luput dari amukan massa dan dibakar beserta mobil yang dipamerkan di dalamnya. Selanjutnya Bank Mayapada juga dibakar massa.
Ribuan massa terus bergerak ke arah Matraman. Dengan tembakan ke udara, massa mulai tercerai-berai. Sebagian ke arah Pramuka, sebagian lagi ke arah Proyek Perdagangan Senen. Sebelumnya, seorang polisi kelihatan memegangi kepalanya yang bocor kena lemparan batu. Dia berkata kepada seorang rekannya yang berseragam loreng, "Bapak yang bawa senjata ke depan saja Pak."
- Pukul 16. 19
Massa rupanya melempari Bank BHS di Jalan Matraman. Kelihatan api mulai menyala di samping gedung BHS, tetapi tidak sampai menyentuh gedung bank itu karena sepasukan tentara berbaret hitam dengan tronton pengangkut pasukan segera tiba.
Sedangkan jalan Salemba Raya terlihat gelap. Asap hitam tebal dari gedung Bank Mayapada dan Auto 2000 membubung ke udara. Massa yang bergerak ke arah Salemba inilah yang kemudian membakar gedung Darmex, Gedung Telkom, terus sampai ke arah Senen. Namun mereka dihalau panser tentara dan gagal mencapai Senen.
- Pukul 16. 33
Tiga panser didatangkan ke perempatan Matraman. Panser ini berhasil membubarkan massa yang merusak semua rambu-rambu lalu lintas.
- Pukul 19.00
Massa di Jalan Proklamasi mulai berkerumun. Tak lama kemudian mereka membakar toko Circle K, Studio SS Foto, dan beberapa bangunan lagi. Aksi dikabarkan berlangsung sampai pukul 01.00 dinihari.
Buku dan penelitian
Peristiwa 27 Juli menghasilkan sejumlah buku dan sejumlah penelitian. Pejabat militer juga menulis buku untuk menjelaskan posisinya dalam kasus itu. Benny S Butarbutar, yang menulis buku Soeyono Bukan Puntung Rokok (2003), memaparkan Kasus 27 Juli dari perspektif Soeyono yang kala itu menjabat Kepala Staf Umum ABRI. Ia membangun teori persaingan srikandi kembar antara Megawati dan Siti Hardijanti Rukmana sebagai latar terjadinya Kasus 27 Juli. Ia juga memaparkan, rivalitas di tubuh tentara yang membuatnya tersingkir dari militer. Soeyono menyebutnya sebagai Killing the Sitting Duck Game, rekayasa untuk "Membunuh Bebek Lumpuh." Sehari sebelum kejadian, Soeyono mengalami kecelakaan di Bolaang Mongondow.
Buku lain yang muncul adalah Membongkar Misteri Sabtu Kelabu 27 Juli 1996 dengan editor Darmanto Jatman (2001). Tim peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia juga membukukan hasil penelitian mengenai Militer dan Politik Kekerasan Orde Baru-Soeharto di Belakang Peristiwa 27 Juli? (2001).
Peringatan
Pada Rabu 26 Juli 2006, Malam Dasawarsa Tragedi 27 Juli 1996 digelar di bekas Kantor Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Jalan Diponegoro Nomor 58, Menteng, Jakarta Pusat. Acara hanya dihadiri keluarga korban dan saksi mata peristiwa ini. Petinggi partai yang sudah berubah nama menjadi PDI Perjuangan tidak terlihat hadir. Begitu juga Ketua Umum PDIP Megawati Sukarnoputri. Walau begitu acara berjalan khidmat. Setelah tahlilan, peringatan itu diteruskan pemotongan tumpeng kemudian ditutup dengan renungan.
Ceritanya lucu, apa yg dilakukan Megawati ketika jadi Presiden ? Kalo memang SBY Bersalah, kenapa malah di angkat jadi Menteri ? Ketoprak Humor ?