Tuesday, October 19, 2010
Kronologis dari Peristiwa Berdarah 27 Juli 1999
KRONOLOGI TRAGEDI AMBON-MALUKU BERDARAH
BAGIAN 1-1: SEBELUM AMBON
Tragedi berdarah di Ambon dan sekitarnya bukanlah sesuatu yang tiba-tiba. Menurut Majelis Ulama Indonesia (MUI), sebelum peristiwa Iedul Fithri 1419H berdarah, tercatat beberapa peristiwa penting yang dianggap sebagai pra-kondisi, bahkan jauh ke belakang pada tahun 1995. Beberapa peristiwa itu (sebagian) adalah sebagai berikut.1)
15 Juni 1995: Desa berpenduduk Islam, Kelang Asaude (Pulau Manipa), diserang warga Kristen Desa Tomalahu Timur, pada waktu Shubuh. Penyerangan dikoordinasikan oleh empat orang yang nama-namanya dicatat oleh MUI.
21 Pebruari 1996 (Hari Raya Iedul Fithri) : Desa Kelang Asaude diserang lagi. Serangan dilakukan oleh warga Tomahalu Timur dengan menggunakan batu dan panah. Tiga hari sebelumnya, serombongan orang yang dipimpin oleh sersan (namanya tercatat) datang ke Desa Asaude, menangkap raja (kepala desa) berikut istri dan anak-anaknya. Mereka menggeledah isi rumah dan menginjak-injak peralatan keagamaan.
18 Nopember 1998: Korem 174 Pattimura didemo. Sejumlah besar mahasiswa Unpatti (Universitas Pattimura) dan UKIM (Universitas Kristen Indonesia Maluku), yang dimotori oleh organisasi pemuda dan mahasiswanya menghujat Danrem Kolonel Hikayat. Demonstrasi berlangsung dua hari. Mereka membakar beberapa mobil keamanan, melukai tukang becak, dan merusak serta melempari kaca kantor PLN Cabang Ambon. Jatuh korban luka-luka, baik di pihak mahasiswa maupun kalangan ABRI.
Beberapa bulan sebelumnya, berlangsung desas-desus dan teror. Isu pengusiran orang-orang Bugis-Buton-Makassar (BBM) sudah beredar di tengah masyarakat yang membuat gelisah banyak orang. Mereka kurang bisa membedakan suku Bugis dan Makassar. Kedua suku ini sebenarnya adalah satu. Orang-orang Muslim suku lain (non-Maluku) juga diisukan untuk diusir. Produksi pesanan senjata tajam ditengarai sangat tinggi. Pesanan dilakukan oleh kelompok tertentu.
Isu pengusiran BBM memang berbau SARA, terutama yang menangkut suku dan agama. Entah bagaimana awalnya dari dalam Gereja. yang tepat, isu BBM bertiup dengan kencang dari kalangan Kristen, bahkan kabarnya disuarakan oleh Gereja.
Menjelang akhir Nopember 1998: Sekitar 200 preman Ambon dari Jakarta, yang bekerja sebagai penjaga keamanan tempat judi pulang kampung. Merekalah yang memulai bentrok dengan penduduk Ketapang (Jakarta). Karena umat Islam Jakarta marah, mereka dikepung. Beberapa darinya tewas. Sejumlah besar yang lain diminta masyarakat agar dievakuasi oleh aparat keamanan. Sebagian dari mereka - sekitar 200 orang - inilah yang pulang ke Ambon.
Beberapa 'Test Case' Sebelum Iedul Fithri Berdarah
Setidaknya, ada tiga peristiwa penting yang dapat dianggap sebagai bagian dari tragedi Iedul Fithri berdarah 1999. Ketiga peristiwa itu adalah peristiwa Wailete tanggal 13 Desember 1998, peristiwa Air Bak 27 Desember 1998, dan peristiwa Dobo 14 dan 19 Januari 1999.
Peristiwa-perista di atas adalah sebuah 'test case' yang dinilai berhasil mendeteksi keberanian, persatuan dan kesatuan serta kesiapan Ummat Islam se-Ambon untuk berperang. Kesabaran Ummat Islam yang tengah menyongsong bulan Ramadhan itu dianggap suatu kelemahan terutama penilaian terhadap suku Bugis-Buton-Makassar yang kurang kompak. Atas dasar penilaian demikian itu tampaknya dijadikan peluang untuk mengobarkan Tragedi Iedul Fithri Berdarah. Hal ini terbukti dengan tiba-tiba didatangkan ratusan preman dari Jakarta, eks-konflik Jalan Ketapang, Jakarta sebagai pelaku di lapangan.
Serangan Massa Kristen ke Desa Wailete
13 Desember 1998 : Desa Wailete yang merupakan perkampungan Muslim masyarakat asal Bugis-Buton-Makasar (BBM) diserang oleh warga Kampung Hative Besar (Kristen). Ratusan massa Kristen menyerbu dengan batu, dan membakar kampung Wailete. Serangan dilakukan dua kali pada malam itu dimana tahap kedua dilakukan secara tuntas membakar habis semua rumah sehingga penghuni hanya menyelamatkan diri dengan baju yang melekat di badan saja. Empat rumah dilaporkan terbakar dan satu kios bensin milik orang Bugis terbakar dan meledak. Penduduk desa tersebut mengungsi.2)
Tidak pernah ada kejelasan penyelesaian dalam peristiwa itu. Bahkan polisi tampak ragu menghadapi ancaman warga desa Hative Besar. Keraguan aparat ini tampak jelas sebagai hasil penghujatan selama demo dengan pecahnya insiden Batu Gajah. Dalam rangkaian penghujatan lewat berbagai media massa sebagian berpendapat bahwa oknum Polri telah berhasil digalang untuk melaksanakan rencana mereka. Surat kabar Suara Maluku tidak memberitakan peristiwa besar ini secara proporsional, dua kali pemberitaan yang tidak jelas kemudian menghilang, padahal kasus Batu Gajah diberitakan luar biasa bahkan tulisan-tulisan dengan ungkapan Anjing dan Babi masih berulang selama sebulan.
Ummat Islam yang menjadi panas karena solidaritas Islamiyahnya sebenarnya mengharapkan adanya reaksi protes, pembelaan dan pertolongan yang memadai tetapi hal itu tidak terjadi karena para pemimpinnya memang lemah dan tidak ada tokoh pemersatu. Warga masyarakat desa Hative Besar telah membuktikan secara nyata isu yang berkembang bahwa suku Bugis-Buton-Makassar dan Jawa-Sunda akan diusir dari Ambon.
Setelah aksi pembakaran itu para tokoh desa Hative Besar mengeluarkan pernyataan bahwa mereka tidak akan menerima kedatangan suku Bugis-Buton-Makasar lagi ke desa Wailete, karena itu desa Wailete tidak pernah dibangun lagi, bahkan parapenghuni yang telah melarikan diri itu tak berani mengunjungi bekas kampungnya. Pemerintah daerah tidak memasukanpembakaran desa Wailete ini kedalam program rehabilitasi, dianggap bukan dalam rangka kerusuhan Ambon.3)
Serangan Massa Kristen ke Desa Air Bak Akhir Desember 1998
27 Desember 1998 : Desa Air Bak, yang hanya berpenduduk sekitar 8 keluarga beragama Islam (desa kecil) diserbu warga Desa Tawiri yang mayoritas beragama Kristen. Pertikaian ini diawali ketika ada Babi peliharaan masyarakat Tawiri memasuki kebun masyarakat desa Bak Air, hal seperti ini biasa terjadi. Menghalau dengan lemparan batu saja Babi akan keluar dari kebun. Kali ini, kejadian ini dijadikan masalah oleh orang Kristen Tawiri. Orang-orang Muslim dilempari batu. Tidak ada penyelesaian, malah warga Muslim yang ditahan polisi.
5 Januari 1999 : Di tengah masyarakat beredar isu akan tejadinya kerusuhan pada Hari Raya Iedul Fithri, meski beberapa penyampaian di antaranya dengan bahasa yang disamarkan. Di bagian lain bisa dibaca bagaimana isu itu berkembang di Kampung Batu Gantung Waringin. Seluruh rumah di situ dibakar dan diruntuhkan. Kampung ini dihuni oleh mayoritas orang Bugis.
Tragedi Berdarah di Dobo, Maluku Tenggara
14 Januari 1999 : Kerusuhan pecah di Dobo, kecamatan Pulau Aru (Kepulauan Tanimbar, Maluku Tenggara). Korban tewas delapan orang. Penyerangan dilakukan oleh kelompok Kristen tersebut bukanlah yang pertama kali. Sekitar satu bulan sebelumnya sempat terjadi kontak senjata tradisional meski dengan skala yang lebih kecil di tempat yang sama.
19 Januari 1999: Hari Raya Iedul Fithri. Kerusuhan pecah lagi di Dobo, setelah umat Islam melaksanakan sholat Ied. Dikabarkan 14 orang terbunuh, 10 orang di antaranya adalah orang Kristen. Sebanyak 55 rumah habis terbakar.
Ketiga peristiwa di atas jelas telah direncanakan sebelumnya dalam rangka mencoba rencana besar mereka, yakni pembantaian Muslim Ambon di Hari Raya Iedul Fithri. Kerusuhan Dobo (14/1) layak dianggap sebagai awal meletusnya Kerusuhan Ambon. Cukup banyak anggota TNI yang dikirim ke Dobo sehingga kekuatan TNI di Ambon berkurang dalam jumlah yang berarti. Jumlah sisanya tidak mampu berbuat apa-apa di kota Ambon pada tanggal 19 dan 20 Januari, sebelum datangnya bala bantuan TNI dari tempat lain. Apalagi kemudian, di Dobo, pada Iedul Fithri, juga pecah kerusuhan lanjutan yang cukup besar.4)
Dikaitkan dengan Tragedi Iedul Fithri Berdarah, rentetan ketiga peristiwa di atas harus dianggap sebagai bagian yang tak terpisahkan, atau sebagai 'babak pertama' dari seluruh babak yang berjudul 'Tragedi Iedul Fithri Berdarah'. Seandainya ummat Islam di Ambon menyatakan protes keras kepada pihak Kristen yang berpura-pura tidak tahu maka mereka akan ragu memasuki 'babak kedua', yaitu adegan 'Tragedi Iedul Fithri Berdarah'. Dengan kata lain Tragedi Iedul Fithri Berdarah itu belum tentu bisa terjadi karena uji cobanya tidak berhasil, Ummat Islam masih siap dan kompak, siaga menghadapi setiap kemungkinan.
Begitu pula Polri, jika betul-betul profesional dan bersungguh-sungguh dalam menangani kasus di atas, termasuk datangnya ratusan orang kiriman itu, maka peristiwa yang amat menyakitkan Ummat Islam se Indonesia ini mungkin tidak akan terjadi. Begitu juga kegelisahan masyarakat luas akibat munculnya kabar burung bahwa akan ada kekacauan besar ketika Shalat Iedul Fithri. Jadi sesungguhnya tragedi ini merupakan ketidak-profesionalan TNI atau lemahnya TNI akibat penghujatan. Jelas ini merupakan peluang yang mulus bagi golongan untuk merencanakan rencana makarnya.
Marilah kita lihat tragedi ini sebagai salah satu bukti rencana strategis pihak Kristen yang teratur dan terencana, sehingga berhasil demikian baiknya.5)



BAGIAN 1-2-2:IEDUL FITHRI BERDARAH 1999 (2/2) - HARI-HARI PEMBANTAIAN BERLANJUT
Hari-hari Pembantaian Berlanjut ...
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Maluku mengeluarkan catatan resmi rentetan peristiwa penting pasca pecahnya Tragedi Iedul Fithri Berdarah, 19 Januari 1999. Dokumen ini ditandatangani oleh pemimpin-pemimpin MUI, orpol, ormas, tokoh-tokoh Islam di Maluku.
Selain itu, juga ada laporan terperinci berbagai peristiwa tiap hari yang diterima dan kemudian dikeluarkan secara terbatas oleh Pusat Informasi dan Komunikasi Umat Islam, Masjid Al-Fatah Ambon, dan Posko Umat Maluku Tenggara perwakilan Ambon.
Peristiwa-peristiwa penting itu - dari MUI Pusat, Informasi Al-Fatah, dari Posko Ummat Maluku Tenggara - sebagian dirangkum, disunting, dan disajikan di bawah ini.
2 Pebruari 1999 : Insiden terjadi di Terminal Mardika. Seorang penumpang angkot turun dari mobil dengan tidak mau membayar ongkos. Supir dan kernet menagihnya tetapi tetap tidak mau membayar bahkan penumpang tersebut lari. Di saat melarikan diri orang yang melihatnya berteriak 'Copet-copet!' kemudian dikejar massa. Pada saat itu aparat keamanan yang bertugas di pasar mengeluarkan tembakan. Massa semakin panik ditambah lagi Patroli Helikopter juga mengeluarkan tembakan. Tidak berapa lama kemudian, terjadi pengejaran warga Islam di kantor-kantor pemerintah yang berada di wilayah pemukiman Kristen, seperti di Kanwil Depsos Karang Panjang dan Dinas Pertaninan Tanaman Pangan Dati I Maluku di Tanah Tinggi. Pegawai beragama Islam bahkan ada yang diparang di halaman kantornya (Depsos). Tiga karyawan Depkes dicegat ketika pulang melewati SMP Negri I, yang beragama Islam diancam dan ditikam.
11.00 WIT : Enam orang pejabat yang akan menghadiri pertemuan dengan lima Menteri di kantor Gubernur Maluku, di Ambon, terjebak barikade dan diancam dengan kekerasan.
Seorang Bugis dibacok di Gang Singa, Belakang Soya, hingga meninggal.
SMEA Negri I Ambon di Karang Panjang diserang oleh para pemuda dari Pondok Paty. Empat kendaraan roda dua dibakar.
3 Pebruari 1999 : Pagi hari, di Karang Tagepe, Kuda Mati, terjadi perusakan atas empat rumah warga Muslim. Rumah-rumah warga Muslim yang belum dibakar atau dirusak akan diratakan dengan tanah. Para pengungsi dari Karang Tagepe berada di dalam tenda-tenda di lingkungan transmisi RCTI/SCTV Gunung Nona. Mobil dan kendaraan roda dua dibakar. Rumah-rumah telah dibakar atau dirusak.
Makar Kristen di Kairatu dan Pembantaian di Desa Waraloki
Pukul 14.00 WIT : Diadakan jamuan makan 'Patita Damai' warga Kairatu, Rumberu dan Rumaitu di satu pihak dan masyarakat Muslim Kairatu. Ternyata ada rencana jahat pihak Kristen. Mereka datang dengan persenjataan lengkap seperti panah, dan tombak, sehingga suasana pesta itu bukan dijadikan wahana Perdamaian melainkan justru berubah menjadi ajang pertempuran. Dalam insiden itu 4 orang warga Muslim terkena panah. Pertikaian meluas menjadi pembakaran pasar, dan rumah-rumah warga Muslim di sekitar Masjid.
4 Pebruari 1999 : Pukul 05.30 WIT warga Desa Waraloki yang sedang melaksanakan Shalat Shubuh diserang oleh massa Kristen dari Desa Kamariang, Sariawang (orang gunung) dan juga warga Kristem lainnya, dengan formasi penyerangan berbentuk huruf L. Dalam insiden itu 7 orang warga Muslim Waraholi terbunuh, salah satunya adalah gadis cilik berumur delapan tahun. Menurut saksi, gadis cilik ini dianiaya lebih dahulu sebelum dibunuh. Satu jam kemudian penyerang dipukul mundur.
Pukul 07.00 WIT : Terjadi penyerangan kedua yang tidak dicegah oleh aparat keamanan yang dipimpin oleh Letda Sitorus. Perusuh dilepas dan akhirnya lari ke gunung. Warga yang melihat keadaan tersebut berkata agar pelaku perusuh ditembak, tetapi oknum aparat mengatakan bahwa pelurunya telah habis. Dalam insiden itu 52 rumah hancur dan kebanyakan korban adalah orang Buton.
Pukul 10.30 WIT : Kota Kairatu kembali diserang oleh massa Kristen yang datang dari kampung-kampung yang berada di pegunungan, sehingga 40 rumah terbakar.
5 Pebruari 1999 : Pagi hari, kerusuhan kembali terjadi di Kairatu, berupa pembakaran di Kairatu. Masyarakat Desa Pelauw (mayoritas Muslim) bergerak maju menuju Kairatu untuk mengevakuasi masyarakat Muslim. Pada malam harinya, rumah-rumah dan masjid dilempari batu.
Kerusuhan juga terjadi di Dusun Alinong. Sejumlah massa Kristen Kuda Mati menyerang warga Muslim Dusun Alinong. Jalan menuju Karang Tagepe di Kuda Mati dibarikade dengan batang-batang kayu. Sejumlah 25 keluarga minta tolong untuk dievaluasi. Imam Masjid Al-Muqaram Kampung Karang Tagepe (Kuda Mati) dengan istrinya ditemukan meninggal oleh polisi di ruang tamu rumahnya. Tubuhnya terlilit kabel listrik telanjang. Pada pukul 10.00 WIT massa Kristen Kamariang menyerang lagi, tetapi berhasil dihalau.
Desa Batu Merah Diguncang Bom
8 Pebruari 1999 : Pukul 08.00 WIT pertama kalinya Desa Batu Merah dilempari dengan bom-bom rakitan.
13 Pebruari 1999 : Tertangkap 6 orang warga Kristen asal Maluku Tenggara yang melecehkan Islam dengan menghujat Rasulullah dan menulis 'Yesus Maju Terus' pada rumah warga Muslim di simpang tiga Air Besar STAIN-Ahuru.
Pembantaian Muslim di Pulau Haruku, Maluku Tengah
14 Pebruari 1999 : Di Pulau Haruku, Maluku Tengah, warga Kariu yang beragama Kristen dibantu beberapa orang aparat membantai warga Muslim Pelauw. Dilaporkan 15 warga Muslim terbunuh dan 43 lainnya luka berat akibat terkena tembakan dan granat. Tercatat, empat anggota Polisi terlibat dalam aksi penyerangan itu. Mereka adalah Serka Loupatty, Serta Titir Loloby, Serda Hendrik Nandatu dan Latumahina.
Ketegangan Terjadi Lagi di Passo
17 Pebruari 1999 : Pagi hari terjadi lagi ketegangan di Passo. Awalnya sebuah mobil truk dari Hitu menuju Ambon yang dilempari batu. Penghuni Kristen di kiri kanan jalan keluar sambil membawa parang dan panah. Kaca mobil dipecah dan aparat keamanan yang berada di tempat kejadian tidak bereaksi. Menurut keterangan korban, ada barikadi di jalan mulai di Negeri Lama sampai dengan pasar, menggunakan batu, drum, dan batang pohon. Tiap mobil yang lewat penumpangnya ditanyai. Dua orang warga Hitu yang menumpang mobil lain ditahan karena membawa senjata tajam, sementara massa Kristen yang berkumpul di situ - dengan membawa berbagai senjata tajam - dibiarkan begitu saja oleh aparat.
Dua jam kemudian, ada sebuah mobil Kijang menuju Hitu ditumpangi warga Muslim. Pengemudinya dipanah oleh warga Kristen Desa Passo, mobil dilempari. Para penyerang tidak diamankan oleh aparat keamanan yang ada.
Ambon Terus Bergolak
18 Pebruari 1999 : Ambon kembali diguncang bom. Peledakan itu terjadi pada hari Kamis (18/2), pukul 1.00 WIT, dini hari. Smentara itu pemerintah melaporkan ada 81 berkas kasus kerusuhan Ambon yang siap disidangkan dengan menjerat 192 tersangka.
22 Pebruari 1999 : Terjadi bentrokan berdarah antara warga Muslim dan warga Kristen. Peristiwa ini menyusul aksi pembakaran 15 rumah warga Muslim di Batu Merah Dalam, Ambon dan satu buah Masjid di Ihamahu, Maluku Tengah. Sedikitnya 9 orang terbunuh dan puluhan lainnya luka-luka.
23 Pebruari : Puluhan bom dilemparkan ke perkampungan Muslim di Batu Merah Dalam, Kodya Ambon. Puluhan rumah musnah terbakar. Dilaporkan 15 orang terbunuh, 13 orang tidak diketahui nasibnya dan 34 orang luka-luka.
Dikabarkan banyak murid sekolah yang dipulangkan, terutama di Galunggung Batu Merah, Kapaha dan sekitarnya. Seorang ibu hamil berjilbab yang pulang dari pasar ketika melewati Gereja Bethabara, Batu Merah Dalam diejek sekelompok orang, tetapi tidak dihiraukan. Ia sempat ditendang. Ini terjadi pada pukul 09.00 WIT.
Memasuki tengah hari, terjadi kerusuhan di Desa Batu Merah Bawah dengan pelemparan beberapa bom rakitan dari arah Batu Merah Atas. Terjadi juga pembakaran warga Muslim di Dusun Rinjani (Desa Batu Merah).
Sampai akhir Pebruari 1999 banyak terjadi insiden di berbagai tempat. Serang menyerang ini dilakukan dengan lemparan batu, lemparan bom, pemanahan, pencegatan, pemukulan, pembacokan, perusakan, penjarahan dan pembakaran rumah.
Jama'ah Sholat Shubuh Ahuru Dibantai
1 Maret 1999 : Sejumlah massa membantai warga Muslim Ahuru, Kodya Ambon, yang tengah melaksanakan Shalat Shubuh berjama'ah di Masjid Al-Huda. Sembilan orang terbunuh. Dua orang bocah, Mansyur (7) dan Parman (1.5) lolos dari serangan brutal ini. Aparat Polisi diduga terlibat dalam aksi penyerangan ini. Dilaporkan pula bahwa di kawasan Kopertis, Kodya Ambon, juga terjadi penyerangan yang diikuti pembakaran sebuah Masjid. 1)

Passo Bergolak Lagi
8 Maret 1999 : Terjadi kerusuhan lagi di Passo. Lewat tengah hari, sebuah Mikrolet dari Tulehu yang dikawal 3 orang Polisi dihadang massa di tikungan Jalan Baru Passo. Penumpangnya ditanya, agamanya Kristen atau Islam. Pak Sopir diseret keluar, lalu lehernya dibacok. Para penumpangnya juga diseret keluar, dibawa ke rumah warga setempat, alu diinterogasi. Mereka yang mengaku beragama Kristen diminta beribadah menurut cara Kristen.
Pada tengah malam, dilaporkan ada kebakaran di dekat Masjid Jabal Tsur, Benteng Atas. Diterima kabar lain kemudian bahwa yang terbakar adalah satu rumah warga Muslim dan empat rumah warga Kristen. Keadaan dapat dikendalikan aparat keamanan. Masjid Jabal Tsur sejak petang hingga Shubuh menjadi sasaran pelemparan. Esok paginya, sekitar pukul 05.00 WIT, masjid itu dilempari bom, tetapi tidak menimbulkan korban.
BAGIAN 1-3 : BELUM HABIS AMBON, TERBITLAH TUAL
Belum habis tangis di Ambon, kerusuhan merembet ke kota Tual, Maluku Tenggara, pada akhir Maret 1999. Menurut informasi dari Posko Umat Islam Al-Huriyah 45, kerusuhan itu berawal pada hari Sabtu (27/3). Peristiwa-peristiwa provokasi terjadi di Maluku Tenggara, setelah kerusuhan Dobo (yang juga termasuk Maluku Tenggara). Kerusuhan dipicu oleh sejumlah tulisan yang isinya menghujat Nabi Muhammad SAW, yang terlihat di tembok rumah milik Abdullah Koedubun, salah seorang PNS pada Kantor Bupati Maluku Tenggara.1)
Berikut kronologi tragedi berdarah di Tual, Maluku Tenggara.
28 Maret 1999 : Beberapa pemuda Muslim dipimpin Abdullah Koedubun, yang tergabung dalam Persatuan Pemuda Muslim Kota Tual (PPMKT) melakukan unjuk rasa di halaman kantor Polisi Maluku Tenggara. Mereka menyampaikan protes atas pelecehan terhadap Nabi Muhammad SAW.
Pukul 16.00 WIT, seorang warga Kristen bernama Ulis Karmomyanan menyebar berita bohong bahwa rumah ibunya di bakar pihak Muslim. Dengan cepat berkembang bahwa umat Kristen Desa Taar dan Un akan menyerang ummat Islam kota Tual. Ketegangan pun tak dapat dihindarkan.
Pukul 20.00 WIT, datang segerombolan warga Kristen Desa Taar ke wilayah Wearhid yang mayoritas beragama Islam. Meski jarak antara Desa Taar dengan Desa Wearhir sekitar 2 km, sekitar 5.000 orang telah siap melakukan penyerangan ke desa-desa Muslim di Tual.
Massa Kristen Desa Taar, melakukan penyerbuan dengan lemparan batu ke arah rumah-rumah penduduk Muslim. Beberapa rumah dikabarkan rusak.
29 Maret 1999 : Sejak pukul 4.00 WIT, sekitar 500 massa Kristen bergerak dari pos pengamanan bersama, yang dikuasainya, menuju rumah Said Rewarin. Merela melempari dan merusak rumah Said sambil berteriak, 'Hidup Jesus', 'Bunuh saudara Karim Renwarin dan adik-adiknya!'. Namun, hal itu tidak berlangsung lama. Pihak Muslim yang mendengar kegaduhan langsung berkumpul dan menghalau massa Kristen sambil berterian 'Allahu Akbar!'. Bentrok fisik pun tidak dapat terelakkan. Akhirnya, massa Kristen berhasil dipukul mundur hingga ke pos pengamanan bersama. Beberapa rumah dilaporkan terbakar.
31 Maret 1999 : Penyerangan massa Kristen terhadap permukiman Muslim di Desa Wearhir kembali terjadi. Bentrok fisik kembali terjadi dengan beberapa korban jatuh dari kedua belah pihak. Hingga siang hari, pihak Muslim berhasil menghalau massa Kristen.
Pukul 15.00-24.00 WIT, situasi mulai mereda. Tidak terjadi pertikaian lagi antara dua belah pihak. Berapa Pastor Katholik berupaya berunding dengan pihak Muslim, dimana mereka meminta agar tempat ibadah orang Katholik tidak diserang, sebab mereka tidak memihak kelompok Kristen. Pihak Muslim menerima permohonan tersebut.
1 April 1999 : Pukul 05.00 WIT Shubuh, terdengar beberapa rentetan tembakan peringatan dari pihak keamanan. Dua jam kemudian terdengar lagi rentetan tembakan yang lebih lama.
Pukul 07.30 WIT, seorang pemuda Muslim bernama Syarif (17) pelajar kelas III SMA di Lodarel Tual, terkena panah besi. Panah tersebut menancam di dada kirinya, lebih kurang 10 cm. Syarif akhirnya terwas. Selain Syarif, jatuh pula korban dari pihak Muslim, yaitu Abdul Ghani Tamber (36), yang dikenal sebagai pimpinan perang, dan Muhammad Taher Penboran (35). Mereka terbunuh akibat tembakan di dekat Gereja Ston, dari laras senjata oknum Polisi bernama Anton dan Miru dari Angkatan Darat.
Pukul 10.00 WIT, terjadi lagi pembakaran rumah-rumah milik warga Muslim, oleh massa Kristen, di komplek kuburan Cina dan belakang PLN lama. Pihak Muslim segera melakukan serangan balasan tersebut. Beberapa aparat keamanan yang bertugas melakukan penembakan terhadap kaum Muslimin, yang mengakibatkan 3 orang terbunuh, sementara beberapa orang luka berat dan ringan. Tidak kurang 70 rumah terbakar.
Pada hari yang sama, terjadi perusakan yang disertai pembakaran rumah-rumah warga Muslim oleh massa Kristen, di komplek belakang Dragun Lama, Kelurahan Ohoijang RT 04/02, yang dipimpin oleh Buce Raharna, PNS Statistik Maluku Tenggara. Seorang pengurus DPC Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Tual, melihat peristiwa tersebut. Buce Rahanra juga berusaha memotong lengan seorang ibu bernama Salija Wattimena, namun atas izin Allah, parang orang kafir itu tidak mampu melukai korban.
Jum'at 2 April 1999 : Terjadi penyerangan dari desa-desa Kristen di Kliwat, Sather, Soindat, dan Weduar terhadap desa Larat yang Muslim, di Kecamatan Key Besar. Akibat serangan ini, umat Islam di desa tersebut memutuskan untuk tidak melaksanakan shalat Jum'at, namun pelaksanaannya diganti dengan sholat Dzuhur berjama'ah di masjid Ar-Rahman.
Sebelumnya, telah terjadi perjanjian damai antara Umat Katholik dengan ummat Islam. Pagi harinya ummat Islam melakukan penjagaan di Gereja Katholik untuk pengamanan ibadah Paskah, dan massa Kristen berhasil dihalau.
Pukul 13.00 WIT : Umat Katholik ganti menjaga umat Islam yang tengah melaksanakan Sholat Dzuhur berjama'ah di Masjid Ar-Rahman Desa Larat, Tual. Ketika ummat Islam baru saja selesai menunaikan shalat Dzuhur berjama'ah, sekelompok massa Kristen tiba-tiba datang menyerang dan melemparkan bom ke dalam Masjid. Jama'ah di dalam Masjid mereka bantai. Seketika itu juga jatuh korban sembilan orang Muslim, termasuk imam Masjid Ar-Rahman H. AH. Rahanyamtel. Seorang jama'ah Masjid bernama Kabir Rahayaan dibantai, tumbuhnya dipotong-potong kemudian dibungkus dengan sajadah dan hambal (karpet). Bungkusan mayat itu lantas diletakkan di bawah mimbar masjid dan disiram minyak, lalu dibakar. Menurut seorang saksi mata, serangan pihak Kristen tampak terorganisir rapi.
3 April 1999 : Massa Kristen dari desa Ohoiet, Ngifut, Ohoirenan, melakukan penyerangan dan pembakaran rumah-rumah warga Muslim di Ohoiwait.
Di hari yang sama, sekitar pukul 05.00 WIT juga tejadi penyerangan disertai pembakaran rumah-rumah milik Muslim di Kecamatan Key Besar, antara lain Desa Sungai, Ngafan, dan Wafol. Sejumlah rumah hangus terbakar, sementara korban luka-luka teridentifikasi sebanyak 3 orang.
Akibat serangan-serangan itu, sekitar seribu orang warga Muslim dari berbagai desa, dan 400 orang dari Desa Larat mengungsi. Mereka diangkut oleh kapal Perang yang besar.
Massa Kristen kembali melakukan serangan tahap kedua, hari itu, di desa Larat. Para perusuh Kristen membakar tidak kurang seratus rumah warga Muslim, sebuah sekolah, sebuah Puskesmas, dan sebuah Masjid. Suasana di Key Besar sangat mencekam. Menurut seorang ketua Posko Satgas MUI Tual, seluruh kecamatan telah menjadi puing, banyak rumah penduduk dibakar secara keji.
5 April 1999 : Serangan demi serangan masih berkelanjutan. Sekitar pukul 20.00 WIT, Kantor Bupati Tual dibakar. Demikian pula sejumlah rumah milik Muslim dibakar oleh para perusuh Kristen. Setelah merusak rumah-rumah itu, mereka melakukan penjarahan besar-besaran, mengangkut segala harta benda yang ada. Setelah itu baru rumah-rumah tersebut dibakar. 2)
Posko Ummat Al-Huriyah 45, Tual, melaporkan pada Palima KODAM TRIKORA, bahwa beberapa desa Katholik di Kecamatan Key Besar : Desa Watsin dan Desa Bombai, telah ikut aktif melakukan penyerangan, pembakaran dan pembunuhan terhadap umat Islam di pesisir Utara Barat, Kecamatan Key Besar. Perbuatan keji ini bertentangan dengan pernyataan sikap Gereja Katholik yang ditandatangani Wakil Uskup Paroki Key Aru di Tual.
Laporan tersebut juga memuat keterlibatan aparat kepolisian Maluku Tenggara dalam memerangi ummat Islam. Para anggota polisi yang beragama Kristen menyebar ke pinggiran kota Tual dengan menyamar sebagai preman dan dipersenjatai untuk melakukan penembakan terhadap Muslim.
Laporan itu juga memuat nama-nama aparat keamanan yang terlibat, yakni : Serda Buce Buluroy (Provost Polres Maluku Tenggara, Serma (Pol) Buce Yambornias, Peltu (Polwan), Ati Titaley, Sema (Pol) Natur Sarkol, Serka (Brimob) Frans Naraha, Serda Miru (anggota Kodim 1503 Maluku Tenggara), dan Serda (Pol) Febby Helyanan. Posko Umat Al-Huriyah 45-Tual, Kabupaten Maluku Tenggara


Ada pun desa-desa Islam yang dibakar, di Maluku Tenggara, menurut laporan tersebut adalah sbb : 
No        Nama Desa                                                                   Kecamatan
1            Desa Fas                                                                     Key Besar
2            Desa Wer Frawav                                                        Key Besar
3            Desa Wer Ker                                                             Key Besar
4            Desa Wer Ohoinam                                                     Key Besar
5            Desa Wearmaf (Kampung Baru)                                   Key Besar
6            Desa Nerong Lama                                                   Key Besar
7            Desa Nerong Baru                                                     Key Besar
8            Desa Larat                                                                  Key Besar
9            Desa Elralang                                                            Key Besar
10          Desa Sungai                                                              Key Besar
11        Desa Ngafan                                                              Key Besar
12                    Desa Wafol                                                                 Key Besar
13                    Desa Langgiar Baru                                                      Key Besar
14                    Desa Fer Raja                                                              Key Besar
15        Desa Uwat                                                                  Key Besar
16                    Desa Ngan                                                       Key Besar
17                    Desa Ohiwait                                                              Key Besar
18                    Desa Mataholat                                                          Key Besar
19                    Desa Ohibadar                                                            Key Kecil
20         Desa Madwat                                                             Key Kecil
21                    Desa Warbal                                                   Key Kecil
22        Desa Ohoirenan                                                          Key Kecil
23        Desa Ohoiren                                                              Key Kecil
24        Desa Ohoira                                                                Key Kecil
25        Desa Letvuan                                                              Key Kecil
26        Desa Debut Islaml                                                       Key Kecil
27        Desa Tarwa pulau                                                       Key Kecil
Sumber : Posko Umat Al-Huriyah 45-Tual, Kabupaten Maluku Tenggara
6 April 1999 : Kerusuhan berlanjut terus di kepulauan Key Besar dan Key Kecil, sedikitnya enam orang terbunuh, akibat serangan senjata tajam dan peluru.
Laporan dari Tim Medis Universitas Indonesia yang berada di Tual, menyebutkan bahwa keadaan hari itu masih dalam status quo. Keadaan sangat mencekam, aparat keamanan sangat kurang jumlahnya.
Dilaporkan pula bahwa para korban dari pihak Muslim yang jatuh tidak bisa dirawat di Rumah Sakit, sebab Rumah Sakit berada dalam penguasaan pihak Kristen. Akhirnya, para korban Muslim di rawat di Masjid bersama-sama dengan para pengungsi yang ditampung di situ.
BAGIAN 1-4 : AMBON JILID DUA, DAN TRAGEDI POKA
Tragedi Ambon berdarah 'jilid dua' adalah nama yang diberikan oleh kalangan Muslim untuk membedakan, bahwa setelah tragedi berdarah pertama pada tanggal 19 Januari 1999 di kota Ambon, dan kebiadaban massa Kristen di Tual Maluku Tenggara, terjadi 'masa tenang' menjelang Pemilihan Umum 7 Juni 1999.
Beberapa sumber menyebutkan bahwa kerusuhan Ambon 'jilid dua' adalah kerusuhan yang terjadi di Poka, 200 km Timur Laut kota, tanggal 23 Juli 1999. Akan tetapi, Brigjen (Purn) Rustam Kastor, mencatat beberapa peristiwa yang terjadi pada 'masa tenang' Pemilu, medio Mei-Juli 1999, di Kodya Ambon dan sekitarnya. Menurut pendapat kami, rentetan peristiwa-peristiwa yang dicatat oleh Rustam Kastor ini, lebih tepat disebut sebagai kerusuhan Ambon 'jilid dua'. Ada pun kronologisnya kami rangkum sebagai berikut. 
11 Mei 1999 : Terjadi pembantaian terhadap dua orang warga Muslim di desa Passo ketika mereka tengah berkendaraan menuju ke Ambon.
12 Mei 1999 : Terjadi penyerangan terhadap rumah-rumah penduduk warga Muslim di dusun Tawiri oleh massa Kristen.
13 Mei 1999 : Empat orang penumpang bus (warga Muslim) tewas dibantai di desa Waai oleh massa Kristen yang sengaja menghadang bus tersebut. Bus tersebut tidak dibakar, tetapi para penumpangnya dikejar massa Kristen, beberapa di antaranya berhasil lolos dari amukan massa.
15 Mei 1999 : Terjadi pembakaran 8 rumah warga Muslim di Batu Merah oleh masa Kristen mardika. Pembakaran ini terjadi akibat pemuda Kristen kampung Mardika merebut obor Pattimura yang dibawa pemuda Islam dari Desa Batu Merah menuju lapangan Merdeka. Di perbatasan Desa Batu Merah, sehingga menimbulkan konflik yang nyaris menimbulkan kerusuhan. Upacara obor Pattimura itu bertepatan dengan peresmian KODAMXVI/PTM oleh Kasad Jendral Subagyo HS.
14 Juli 1999 : Pembakaran sekitar 300 pohon cengkih milik desa Siri-Sori Islam (Pulau Saparua) oleh massa Kristen desa Ulath yang berkelanjutan dengan perkelahian massal yang menimbulkan korban jiwa di pihak Muslim termasuk aparat Kepolisian.
17 Juli 1999 : Masjid Al-Ikhlas kota Saparua, dan beberapa rumah penduduk Muslim dibakar perusuh Kristen. 
Kerusuhan di Poka, Juli-Agustus 1999
Sumber dari Posko Umat Islam Masjid Al-Muhajirin Tihu dan PKPU menyebutkan bahwa kerusuhan di Poka berkobar pada tanggal 23 Juli 1999, menyusul pemukulan dan pendudukan rumah-rumah warga Muslim di sana. Tiga buah Masjid, yakni An-Nashr, Al-Ikhlash dan, Al-Muhajirin, jadi sasaran kelompok Kristen. Aparat keamanan dari Brimob, memihak kelompok ikat kepala merah (Kristen), dengan aktif menembakkan senjatanya. Bantuan dari tempat-tempat lain berdatangan, terutama dari tempat-tempat konsentrasi warga Kristen. Berikut kronologisnya.
21 Juli 1999 : Pukul 17.15 WIT terjadi pemukulan terhadap tiga mahasiswa Islam di depan perumahan Departemen Poka. Masalah ini tidak terselesaikan, karena korban tidak berani melapor.
22 Juli 1999 : Terjadi lagi pemukulan terhadap dua mahasiswa Islam di depan Gereja Perumnas Poka. Hal ini dilaporkan pada aparat keamanan, namun penyelesaian laporan tersebut tidak digubris.
23 Juli 1999 : Secara terang-terangan diadakan mobilisasi massa dari Wailela, Poka, Rumah Tiga oleh pihak merah (Kristen) untuk menempati rumah-rumah penduduk di Perumnas Poka, blok I-V.
24 Juli 1999 : Ketika awal Maghrib, mulai terjadi pelemparan terhadap rumah Muslim di Perumahan Poka blok I-V tersebut, kemudian disambut oleh pemuda-pemuda Muslim di sana. Terjadlilah baku lempar.
25 Juli 1999 : Terjadi mobilisasi bantuan pihak merah dari berbagai tempat dan menyerang Perumnas dan BTN Poka. Terjadi pembakaran dan penghangcuran rumah-rumah Muslim. Tiga lokasi yang menjadi sasaran adalah Masjid An-Nashar Poka, Masjid Al-Ikhlash Poka, dan Masjid Al-Muhajirin Perumnas Poka. Lima orang terbunuh, empat di antaranya ditembak aparat, tepat di depan Puskesmas Rumah Tiga.
Drama Perkosaan Warga Muslim Wailiha
Di Dusun Wailiha, arah utara kota Ambon, desa Batu Gong kecamatan Teluk Ambon Baguala Kodya Ambon yang berdampingan dengan kampung Hutumuri (kampung Kristen) terjadi pembantaian dan pemerkosaan yang sungguh tak mengenal rasa perikemanusiaan. Massa Kristen menyerang perkampungan Muslim yang terdiri dari dusun Kisar, Kampung Pisang dan dusun Wailiha yang terletak di Desa Batu Gong. Warga masyarakat khususnya dusun Wailiha awalnya sudah mendengar khabar tentang peristiwa yang terjadi di desa Poka (Perumnas, Wailela, Rumahtiga dan sekitarnya) bahkan pula yang terjadi di kota Ambon. Walhasil kejadian inipun merembek pada kampung Kisar (tetangga Dusun Wailiha) .
Pukul 05.30 WIT, Kampung Kisar habis terbakar oleh kekejian kaum Kristen. Melihat kejadian ini, warga Wailiha bersebelahan dengan kampung Kisar terutama laki-laki sudah siap untuk menghadang pasukan Kristen dan sebagian lagi mengungsi. Jalan-jalan diblokade dan mobil yang dipakai untuk mengambil warga Wailiha dilempari sehingga mobil tersebut tidak berani lagi mengevakuasi warga. Bunyi tembakan dari pihak Kristen makin mendekat sehingga membuat benteng pertahanan Warga Wailiha menjadi Lumpuh dan mundur menyelamatkan diri ke Pabrik Pengalengan Ikan, Batu Gong. Melihat tidak ada lagi Pertahanan dari warga Wailiha membuat pihak Kristen Hutumuri dan beberapa kampung Kristen di sekitarnya leluasa dan membabi buta membakar habis rumah-rumah warga. Dua buah masjid yakni Masjid Nurul Ilmi dan Masjid Babussalam pun ikut dibakar.
Melihat warga Wailiha menyelamatkan diri ke pabrik Pengalengan Ikan dan yang lain nekad untuk berenang ke pantai kampung Tial (perkampugan Islam), 200 massa Kristen pun mengikutinya kearah pabrik, diikuti dengan pembakaran, pemboman, penembakan dan pelemparan mess (asrama) pabrik, sehingga mess pabrik pun terbakar. Setelah mess terbakar mereka pun diperintahkan keluar, namun warga Wailiha ini tidak berani keluar karena melihat pihak Kristen melengkapi dirinya dengan senjata modern, pistol, parang, tombak, basoka, bom dan lain-lain.
Berulang-ulang kali para perusuh Kristen mengatakan 'Perempuan-perempaun keluar dan angkat tangan'. Demi kesalamatan jiwanya merekapun menurutinya. Kemudian mereka disuruh berbaris untuk menuju Desa Hutumuri. Di tengah perjalanan, sebagian dari mereka mengatakan 'pilih perempuan-perempuan cantik', kemudian yang cantik-cantik dipisahkan dan diperintahkan segera mengeluarkan uang-uang yang dimilikinya. Sementara laki-laki yang masih bersembunyi di mess yang lain disuruh keluar. Dengan terpaksa mereka pun ikut keluar. Dihadapan keluarga, istri dan anaknya mereka dibantai.
Masing-masing Pak Risman (satpam perusahaan) korban dibacok dan dicincang, Pak La Ata ditembak, dicincang hingga isi perutnya keluar, Pak La Uta, dipotong dan cincang oleh teman kerjanya sendiri di perusahaan, seorang anak kecil, anak dari Ibu Wa Emi kepalanya di belah dengan Kapak, anak-anak kecil yang lain diinjak-injak, Pak La Nahiyah dipanah dari kiri tembus kekanan mayatnya dibuang dan di temukan dipantai Passo.
Seorang anak gadis yang bernama Suryani, 25 tahun, disuruh telanjang dengan membuka baju dan celananya, namun karena tidak diturutinya membuat mereka marah dan menyiksa serta memotong rambut dan lehernya sehingga gadis ini penuh dengan luka-luka.
Seorang Ibu yang bernama Wa Rahima (42 tahun) ditelanjangi di depan suaminya. Suaminya diancam akan dibunuh apabila berteriak atau berbicara. Seorang gadis lagi yang bernama Nurdia (17 tahun, siswa SMP Kelas III) sudah dibuka celananya dengan cara paksa dan - maaf - buah dadanya sudah dipegang siap untuk dipotong. Menurut pengakuan salah satu korban, ada sepasang suami istri diculik dan di bawa ke Hutumari, dan tidak diketahui nasibnya.
Sementara seorang Ibu bernama Dewi (bukan nama sebenarnya) yang sudah punya tiga anak, pegawai Pertanian diperkosa beramai-ramai sekitar 20 orang, setelah itu mereka dengan kejamnya melukai alat kemaluannya dengan alat tajam. Korban sementara di RS AL Halong dalam keadaan yang sangat menyedihkan. Dari informasi saksi, sebenarnya Ibu tersebut mau bergabung dengan warga Wailiha lainnya di mess Pabrik, namun ditengah perjalanan beliau sudah dianiaya.
Sekitar pukul 07.00 WIT, pertolongan Allah pun datang lewat bunyi tembakan aparat, membuat para perusuh Kristen lari tunggang langgang, menyelamatkan diri. Akhirnya warga Muslim segera diungsikan ke Asrama Halong dengan penuh penderitaan lahir batin, tanpa baju, uang dan materi lain yang mendukung hidup mereka lagi. 1)
26 Juli 1999 : Terjadi perlawan sengit, para mahasiswa Islam terjun membantu menghalau serangan-serangan pihak Kristen, namun pihak keamanan Brimob bertindak makin tidak adil. Sertu Erald Pattiwael dengan entengnya menembak sdr. Jamarah, hingga tewas, sementara Ade Buton luka berat akibat peluru menembus lututnya.
Ambon, 26 Juli 1999
Sebelumnya Dusun Wailiha di Batu Gong diserang pihak Kristen pada dinihari. Empat orang Muslim terbunuh dan sedikitnya dua puluh orang luka berat dan lima puluh luka ringan. Korban yang meninggal dan luka-luka di evakuasi ke RS Angkatan Laut Halong. Dilaporkan pula bahwa seorang wanita diculik dan tidak diketahui nasibnya.
Di Desa Lateri dan Latta, dinihari, ummat Islam diserang massa Kristen, Dua orang terbunuh ditembak Brimob, yakni sdr. La Ali dan La Ane serta yang satu lagi tertembak di bagian paha. Saat itu wanita dan anak-anak melarikan diri, bersembunyi di Halong Atas yang kemudian berhasi dievakuasi ke Dusun Kebun Cengkeh.
27 Juli 1999 : Desa Waihitu dan Tanah Lapang Kecil diserang pihak Kristen dari berbagai penjuru, akibatnya kedua desa tersebut luluh lantak. Para penghuni kedua desa itu melarikan diri berenang ke laut. Mereka kemudian mendapatkan pertolongan dan dievakuasi ke dermaga Yos Sudarso, Ambon.
Di Dusun Telaga Pange dan Keranjang terjadi penembakan oleh aparat Brimob, menewaskan dua orang yang teridentifiaksi sebagai Lampone dan Wa Haya (wanita).
Kebiadaban di Desa Latta, Kodya Ambon 
28 Juli 1999 : Kondisi pertikaian Ambon yang melebar diberbagai tempat, juga merembet ke dusun Latta, sekitar 12 km dari pusat kota Ambon. Massa Kristen warga desa Lateri (bersebelahan dengan dusun Latta) menyerang Latta pada hari Rabu jam 04.00 dini hari. Dalam peristiwa Latta itu, sebagaimana dilaporkan oleh salah satu sumber, bahwa 1 orang terluka. Keberingasan kaum kristen ini tidak berhenti disini. Sumber yang keluarganya juga bertempat tinggal di Latta ini juga menceritakan bahwa setelah pihak Kristen menghancurkan beberapa rumah warga muslim Latta, dengan biadabnya mereka memperkosa dua orang wanita muslimah Latta. Jumlah warga yang memperkosa ini setelah dilaporkan dan dikonfirmasi balik oleh sumber tadi, banyaknya pelaku belum teridentifikasi. Setelah muslimah Latta ini diperkosa, 2 Muslimah lainnya dibantai dengan dipotong-potong hingga tewas.
Pada hari Rabu, jam 10.00 warga Kristen gabungan desa Hutumuri dan desa Passo menyerang dusun Wailiha (mayoritas berasal dari Buton). Anak-anak dan perempuan dusun ini sebelumnya telah diungsikan, sementara yang bertahan adalah hanya para pemuda yang bertahan. Dilaporkan bahwa 15 orang dibantai oleh pihak Kristen. 2)
Situasi Semakin Mencekam di Poka dan Kodya Ambon 
29 Juli 1999 : Terjadi lagi penembakan oleh aparat Brimob, saat terjadi pertikaian antara pasukan putih dan merah (Kristen), di Perumnas Poka. Empat dilaporkan orang terbunuh. Mereka adalah Majid Amed, Hussein Ollong, Ali Ulat dan Kadir Rehalat. Sementara di Kota Ambon, seorang bernama Syamsul B. Rahayaan terbunuh ditempak aparat dari kesatuan Brimob.
30 Juli 1999 : Pihak Kristen kembali menyerang, kali ini ke desa Iha. Akibat serangan dari segala penjuru itu, dua orang dilaporkan terbunuh. Kondisi sementara terkendali dengan adanya bantuan pasukan yang datang dari Jakarta.
1 Agustus 1999 : Pukul 15.00 WIT, massa Kristen kembali membakar rumah-rumah Muslim di perbatasan antara perumahan penduduk Hative Kecil dengan rumah penduduk Kristen di Aster, yang telah ditinggalkan penghuninya..
3 Agustus 1999 : Pukul 09:20 WIT di Waihaong, beberapa warga Muslim berhasil menangkap seorang penyusup, di sekitar tempat pengungsian THR Waihaong Penyusup Kristen ini dihakimi hingga babak belur. Nasib serupa juga dialami seorang warga beragama Kristen yang ditangkap di depan kantor DPW Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Maluku, di Asoabali. Sekitar pukul 11.00 WIT, seorang warga Kristen ditemukan tewas di lantai Gedung Ambon Plaza, salah satu pertokoan termegah di Ambon. Diduga warga Kristen itu tewas akibat kemarahan warga Muslim akibat Rubiyanto, warga Muslim nelayan, yang sebelumnya dibantai dengan keji di depan toko Citra. 3)
Menurut laporan KONTRAS, sejak pecahnya pertikaian di Poka, tanggal 15 Juli hingga 5 Agustus 1999, tercatat 1.349 orang korban meninggal, ratusan lainnya luka-luka, dan 4 orang hilang. Sekitar 800 rumah dibakar habis, juga kira-kira 200 ruko habis dibakar. Kurang lebih 100.000 warga mengungsi. 4).

Labels:

 
posted by IyhanQ at 1:06 AM ¤ Permalink ¤ 0 comments
Kronologis dari Peristiwa Berdarah 27 Juli 1996
Kronologis dari Peristiwa Berdarah 27 Juli 1996

Menarik untuk dicermati adalah pernyataan Bp. SBY saat serah terima jabatan Menko Polkam dari Soerjadi Soedirdja, dalam hal mana Bp. SBY menyatakan bahwa tragedy 27 Juli 1996 “bukanlah perbuatan oknum melainkan perbuatan institusi” dan bahwa pada saat itu beliau (Bp SBY) tidak memegang fungsi komando
Menurut Mantan Kasum ABRI, Bp. Suyono dalam penuturannya kepada Tempo bahwasanya ada Surat Perintah Operasi untuk menyelesaikan persengketaan di internal PDI (kubu Soeryadi Vs Megawati) yang ternyata hilang menurut penyampaian Bp. Syamsir Siregar (ka BIA waktu itu, kini Kepala BIN pemerintahan SBY). Dibagian lain Bp. Suyono juga menegaskan bahwa kasus 27 Juli adalah tanggung jawab Kodam
Bahkan Mantan Ketua Umum PDI Soerjadi juga membenarkan adanya dalam Keterlibatan TNI dalam tragedi berdarah 27 Juli tersebut, Soerjadi juga menambahkan kalau saja Bp. Sutiyoso mau berkisah.
Bahwa jajaran petinggi TNI terlibat, adalah sesuatu yang diketahui umum, bahkan berdasar kesaksian Thomas Resmow saat di pengadilan mengatakan bahwa TNI sengaja membiarkan peristiwa itu terjadi dan melihat Bp. Sutiyoso dan Abu Bakar ada saat penyerbuan Kantor PDI, Jln Diponegoro no. 58. Hanya masalahnya sekarang tidak pernah dapat dibuktikan di pengadilan.
Menarik juga untuk disimak adalah pernyataan Mantan Kapolda Jaya Bp Hamami Nata yang santer disebut sebagai actor yang turut serta dalam rapat-rapat sebelum penyerbuan kantor PDI, dalam pernyataannya Bp. Hamami Nata menegaskan bahwa Soerjadi (mantan Katum PDI) bersih dari keterlibatan dalam tragedy berdarah 27 Juli 1996. Bila Soerjadi tidak terlibat, lalu siapa sebenarnya yang terlibat? Menurut Hamami Nata menegaskan bahwasanya Pemerintah (Rezim OrBa) terlibat dalam tragedi Berdarah 27 Juli 1996 tersebut.
Bila penuturan Jenderal Saurip Kadi dapat dipercaya, maka akan terlihat jelas peran SBY dalam Tragedi Berdarah 27 Juli 1996, dalam hal mana Jenderal Saurip Kadi menjelaskan bahwasanya SBY saat itu adalah Kasdam, dan sebagai Kasdam adalah menjadi tugasnya sebagai orang nomer dua setelah Sutiyoso yang bertugas untuk menyediakan logistic dan pasukan
Yang perlu dicermati lagi adalah Laporan akhir Komnas HAM tentang pertemuan tanggal 24 Juli 1996 di Kodam Jaya dipimpin oleh Kasdam Jaya Brigjen Susilo Bambang Yudhoyono. Hadir pada rapat itu adalah Brigjen Zacky Anwar Makarim, Kolonel Haryanto, Kolonel Joko Santoso, dan Alex Widya Siregar. Dalam rapat itu, SBY memutuskan penyerbuan atau pengambilalihan kantor DPP PDI oleh Kodam Jaya.
Adalah satu hal tidak benar bila menyatakan bahwa Ibu Megawati tidak perduli dengan korban tragedi berdarah 27 Juli 1996. Pernyataan seperti itu merupakan “pelintiran sejarah” karena diketahui persis bahwasanya Ibu Megawati telah berulang kali berusaha untuk membuka kembali kasus 27 Juli 1996 dalam persidangan pengadilan, namun sayangnya pengadilan telah menisbikan semua kesaksian yang ada, Hal ini mengingat bahwa Tragedi Berdarah 27 Juli 1996 memiliki spectrum yang luas dan melibatkan banyak petinggi ABRI hingga rezim OrBa saat itu. Bahkan pada saat membuka kembali kasuss tersebut Ibu Megawati banyak dituduh lawan politiknya Ibu Megawati banyak dituduh lawan politiknya (sebagai mencari popularitas dalam menghadapi Pilpres 2004. Juga banyak orang mempertanyakan apakah motif Ibu Megawati dalam menyerahkan kasus tragedi berdarah 27 Juli 1996 ke pengadilan sebagai usaha mencari keadilan atau balas dendam
Sedangkan Ibu Megawati sendiri telah menjelaskan tentang sikapnya dan pilihannya untuk menempuh jalur hukum dan membawa kasus 27 Juli 1996 ke pengadilan sebagaimana diungkapan dalam wawancara selama 3 jam dalam acara Kick Andy di Metro TV
Bila rekan pembaca dan komentator dapat mencermati keseluruhan tulisan dalam postingan Bp. Rj. Sulistyo, maka saya berharap tulisan ini dapat menjadi penyeimbang tulisan Bp. Rj Sulistyo tersebut.
Dari fakta dan link yang saya lampirkan dalam tulisan saya dapatlah diketahui bahwasanya Tragedi Berdarah 27 Juli 1996 melibatkan banyak oknum, dan oknum tersebut tidak saja berasal dari kubu PDI Soerjadi, tetapi juga dari unsure aparat pemerintahan dan jajaran petinggi ABRI saat itu.
Ibu Megawati selaku negarawan, mengutamakan jalur hukum dalam memproses para pelaku traged. berdarah 27 Juli 1996. Dari hal itu dapat dilihat bahwasanya Ibu Megawati mendahulukan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan golongan, meski Ibu Megawati memiliki kesempatan ketika beliau menjabat sebagai Presiden RI ke 5.
Sebagaimana kasus-kasus yang melibatkan banyak petinggi negara, maka demikian pula halnya dengan kasus tragedi Berdarah 27 Juli 1996, yang akhirnya sampai sekarang tidak pernah dituntaskan. Bila dituntaskan, mungkin semua hasil Pemilu baik 2004 ataupun 2009 harus diulang…..
Wahai para oknum pelaku Tragedi Berdarah 27 Juli 1996… mungkin sekarang anda bisa tertawa karena bisa lolos dari jerat hukum pengadilan dunia…
Liputan6.com, Jakarta: Mantan Kepala Kepolisian Daerah Metro Jakarta Raya Mayor Jenderal Hamami Nata mengakui pemerintah keterlibatan pemerintah dalam Tragedi 27 Juli. Menurut Hamamai, saat itu, pemerintah telah memerintahkannya untuk melakukan penyerbuan terhadap Kantor Dewan Pimpinan Pusat PDI Perjuangan di Jalan Diponegoro Jakarta, pada 27 Juli 1996 itu. Demikian diungkapkan Hamami seusai diperiksa selama delapan jam lebih oleh Tim Penyidik Kasus 27 Juli di Markas Pusat Polisi Militer Jakarta, baru-baru ini.
Pemeriksaan Hamami Nata itu adalah pemeriksaan yang kedua kalinya. Kali ini, penyidik bermaksud memeriksa apa yang dikerjakan mantan Kapolda Metro Jaya itu saat Tragedi 27 Juli berlangsung. Penyidik mengajukan 39 pertanyaan mengenai keterlibatan Hamami. Mantan petinggi Kepolisian itu akhirnya mengakui juga keterlibatannya. Menurut ia, tindakan itu dilakukan berdasarkan surat dari Menteri Koordinator Politik dan Keamanan saat itu, Soesilo Soedarman.
Pengakuan Hamami itu bertentangan dengan pernyataan Pemerintah yang selalu membantah terlibat dalam peristiwa Sabtu Kelabu. Begitu pula dengan Kuasa Hukum Hamami Nata O.C. Kaligis yang juga sempat membantah keterlibatan kliennya. Namun, Kaligis kini mengakui Hamami Nata resmi menjadi tersangka. Selain Hamami, beberapa nama lain juga disebut-sebut keterlibatannya dalam peristiwa 27 Juli. Di antaranya, mantan Panglima Daerah Militer Jaya Sutiyoso yang kini menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, serta mantan Kepala Badan Intelijen ABRI Zacky Anwar Makarim.(HFS/Bayu Sutiyono dan Satya Pandia
Misteri di Balik Peristiwa 27 Juli 
Tanggal 30 September 1965 malam, Kolonel Latief menemui Jenderal Soeharto di Rumah Sakit Angkatan Darat Gatot Subroto untuk menjenguk anak Soeharto yang sedang sakit, Tommy. Dalam pertemuan singkat itu, Latief—menurut pengakuannya—memberitahukan Soeharto tentang adanya gerakan sejumlah perwira Angkatan Darat yang ingin menculik beberapa jenderal. Soeharto tidak bereaksi apa-apa atas laporan Latief. Beberapa jam kemudian, peristiwa G30S/PKI pun pecah. Kenapa? Soeharto selaku Panglima Kostrad tidak mengambil tindakan apa pun setelah mendapat laporan dari Kolonel Latief yang notabene adalah eks anak-buahnya sendiri? Kalau benar apsa yang dituturkan Latief dalam biografinya yang diterbitkan pada tahun 2000, Soeharto memang pantas dicurigai terlibat dalam G30S. Paling tidak, dia sudah tahu akan aksi berdarah sejumlah oknum Angkatan Darat, namun dia tidak ambil action sama sekali. No action, dalam jargon politik, bisa diartikan ”setuju” atau ”merestui” tindakan orang lain yang telah diketahuinya.
Dalam peristiwa 27 Juli 1996—pengambilalihan dengan kekerasan kantor Dewan Pimpinan Pusat. Partai Demokrasi Indonesia (DPP PDI) Pusat di Jalan Diponegoro— Megawati Soekarnoputri sebenarnya juga sudah mengetahui, ketika sehari sebelum kejadian, Jenderal Benny Moerdani meneleponnya. Sebagai perwira Angkatan Darat yang selama puluhan tahun bertugas di bidang intel, informasi Benny pasti bisa di kualifikasikan ”A-l”; dalam arti, kebenarannya tidak perlu diragukan, Perihal komunikasi antara Benny dan Ibu Mega ini, diungkapkan RO Tambunan tanggal 22 Juli yang baru lalu dalam suatu acara peringatan ”6 tahun peristiwa 27 Juli”. Seperti diketahui, Tambunan adalah mantan Ketua Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), tim pengacara yang dibentuk oleh DPP PDI untuk menegakkan keadilan seputar kasus ini. Sebagai orang yang ketika itu mempunyai hubungan yang sangat dekat dengan Mega, kita yakin, pernyataan Tambunan memiliki bobot kebenaran yang juga, tidak perlu diragukan. Sumbernya, pasti, dari Megawati sendiri.  Analog kedua peristiwa di atas, mungkin, dinilai sangat tidak relevan. Pada peristiwa pertama, Soeharto dalam kapasitasnya sebagai Pangkostrad, kiranya dapat mencegah meletusnya G30S/PKI setelah ia mendengar laporan Latief. Toh, ia tidak bertindak apa-apa dan membiarkan pasukan Letnan Kolonel Untung dan kawan-kawan menculik para petinggi TNI-AD. Dalam peristiwa 27 Juli, Megawati dalam posisi tidak berkuasa seperti Soeharto dulu. Ia tidak berdaya untuk mencegah penyerbuan terhadap kantor partainya, pun setelah ia memperoleh informasi tentang rencana penyerbuan itu. Tapi, bukankah Mega selaku Ketua Umum PDI dapat segera memerintahkan para kadernya yang berada di dalam kantor DPP untuk keluar dan gedung itu? Dalam suatu wawancara dengan majalah Forum (26 Agustus 1996), Mega mengaku sudah sering mendengar kemungkinan kantor DPP PDI diserbu oleh aparat keamanan, sehubungan dengan aksi-aksi ”Mimbar Bebas” yang membuat telinga penguasa merah. Tapi, karena sejauh itu berita-berita tadi berlalu begitu saja, maka ia kemudian tidak pernah memperhatikannya secara sungguh-sungguh. Dalam konteks perpolitikan dewasa ini, fakta bahwa Megawati sebelumnya sudah mengetahui rencana aparat menyerbu kantor DPP PDI menimbulkan berbagai kecurigaan negatif terhadap kepemimpinannya. Mungkinkah Mega sengaja membiarkan peristiwa itu terjadi karena perhitungan politik tertentu? Bukankah peristiwa semacam ini—apalagi dilanjuti dengan aksi-aksi pembakaran di beberapa bagian Ibukota—dapat merusak citra pemerintahan Soeharto, mengundang sorotan tajam dunia internasional, sekaligus mengusik simpati masyarakat luas kepada Megawati? Ya, sejarah mencatat Tragedi 27 Juli 1996 memang menimbulkan aib besar bagi rezim Soeharto. Faktanya, Soeharto akhirnya gagal mengganjal Megawati menjadi pimpinan tertinggi PDI, karena massa PDI di bawah (grassroot) terus menerus memberikan dukungannya pada kepemimpinan Mega, sekaligus menjauhkan diri dari Soerjadi yang diyakini hanya boneka Soeharto. Sesungguhnya, kejadian 27 Juli 1996 membawa blessing in disquise yang amat dahsyat bagi Megawati! Jika sejarah boleh diputar balik, mungkin kita bisa mengatakan bahwa tanpa kejadian 27 Juli, nasib Mega barangkali takkan seperti hari ini.
Toh, Mega seyogianya menyadari betul bahwa blessing yang diperolehnya, sebagian, harus dibayar dengan nyawa kader-kadernya. Berapa sesungguhnya korban yang tewas dalam penyerbuan biadab itu, angka pasti tetap tidak diketahui. Komnas HAM dalam laporan resminya pada 12 Oktober 1996, hanya menyebut lima orang tewas, 149 luka dan 13 hilang. Seyogianya Mega tidak boleh menyia-nyiakan pengorbanan mereka, antara lain, dengan berupaya sekuat tenaga untuk menyeret para pelaku, khususnya mastermind-nya, ke meja hijau untuk mendapatkan hukuman yang setimpal. Tapi, Mega tampaknya tidak melakukan hal itu. Masyarakat, terutama kader-kader PDIP, memperoleh persepsi kuat bahwa Mega—secara langsung atau tidak langsung—sengaja merekayasa untuk menutup kasus 27 Juli. ”Uang islah” sebesar Rp 10 juta untuk tiap-tiap korban yang dibagikan pada Nopember tahun lalu merupakan suatu indikasi yang mendukung kecurigaan ini. Dukungannya yang tanpa reserve terhadap pencalonan kembali Sutiyoso sebagai Gubernur DKI memperkuat indikasi tadi, sebab semua orang tahu who is Sutiyoso.
Dialah pemegang komando aparat keamanan di Ibukota ketika peristiwa 27 Juli terjadi. Dan keterlibatan aparat keamanan dalam tragedi 27 Juli kiranya tidak bisa ditutup-tutupi lagi. Mega sendiri dalam suatu.wawancara terang-terangan mengatakan: ”.....penyerbuan dilakukan bukan oleh orang-orang yang menyebut dirinya pro-kongres, tapi, kelihatan sekali campur tangan aparat.” Sebagai Panglima Kodam Jaya, Sutiyoso jelas tidak bisa cuci-tangan. Sesugguhnya, Sutiyoso sudah resmi menjadi salah satu tersangka dalam kasus ini. But that is potitics! Pepatah ”lidah tak bertulang”, sesungguhnya, lebih tepat ditujukan. pada dunia perpolitikan, bukan dunia percintaan. Mengapa para petinggi militer sampai sekarang tidak bisa diajukan ke pengadilan? Ini pun sebuah misteri. Spekulasi mengatakan Mega berhadapan dengan ”Tembok Cina” yang perkasa manakala ia bersikeras untuk meminta pertanggungjawaban hukum para jenderal. Spekulasi lain mengatakan untuk kursi kepresidenannya hingga tahun 2004, bahkan mungkin sampai 2009, Mega membutuhkan dukungan kuat militer. Yang unik, anak buah Mega di DPD DKI kabarnya sedang mempersiapkan mental untuk menolak perintah DPP mendukung pencalonan Sutiyoso dalam pemilihan gubernur baru pada Agustus mendatang. Sejauh mana ”nyali” para anggota DPRD dan Fraksi PDIP itu, uji coba yang akan segera kita lihat adalah sikap mereka terhadap Laporan Pertanggungjawaban (LPj) Sutiyoso yang disampaikan pekan lalu dengan iringan air mata. Beranikah mereka tolak? Jika Dewan menolak LPJ—meskipun sudah memperoleh restu ”Ibu”—Sutiyoso kehilangan landasan moral dan politik untuk terus maju ke pemilihan gubernur. Penulis adalah pengamat politik, doktor ilmu politik dari Universitas Indonesia.
Peristiwa 27 Juli 1996 adalah peristiwa pengambilalihan secara paksa kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Jl Diponegoro 58 Jakarta Pusat yang saat itu dikuasai pendukung Megawati Soekarnoputri. Penyerbuan dilakukan oleh massa pendukung Soerjadi (Ketua Umum versi Kongres PDI di Medan) serta dibantu oleh aparat dari kepolisian dan TNI.
Peristiwa ini meluas menjadi kerusuhan di beberapa wilayah di Jakarta, khususnya di kawasan Jalan Diponegoro, Salemba, Kramat. Beberapa kendaraan dan gedung terbakar.
Pemerintah saat itu menuduh aktivis PRD sebagai penggerak kerusuhan. Pemerintah Orde Baru kemudian memburu dan menjebloskan para aktivis PRD ke penjara. Budiman Sudjatmiko mendapat hukuman terberat, yakni 13 tahun penjara.
Ada dua istilah untuk Peristiwa 27 Juli ini, yaitu:
  • Kudatuli. Akronim dari KerUsuhan DuApuluh TUjuh juLI. Pertama kali dimuat di Tabloid Swadesi dan kemudian luas digunakan oleh berbagai media massa. Mayjen TNI (Purn.) Prof. Dr. Soehardiman, SE juga pernah menggunakannya dalam bukunya.
  • Sabtu Kelabu. Merujuk pada hari saat terjadinya peristiwa ini yaitu hari Sabtu, kata "kelabu" untuk menggambarkan "suasana gelap" yang melanda panggung perpolitikan Indonesia saat itu. Tidak diketahui pencetusnya, namun diduga semula beredar dalam forum-forum di internet.
Laporan Komnas HAM
Hasil penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia: 5 orang meninggal dunia, 149 orang (sipil maupun aparat) luka-luka, 136 orang ditahan. Komnas HAM juga menyimpulkan telah terjadi sejumlah pelanggaran hak asasi manusia.
Dokumen dari Laporan Akhir Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyebut pertemuan tanggal 24 Juli 1996 di Kodam Jaya dipimpin oleh Kasdam Jaya Brigjen Susilo Bambang Yudhoyono. Hadir pada rapat itu adalah Brigjen Zacky Anwar Makarim, Kolonel Haryanto, Kolonel Joko Santoso, dan Alex Widya Siregar. Dalam rapat itu, Susilo Bambang Yudhoyono memutuskan penyerbuan atau pengambilalihan kantor DPP PDI oleh Kodam Jaya.
Dokumen tersebut juga menyebutkan aksi penyerbuan adalah garapan Markas Besar ABRI c.q. Badan Intelijen ABRI bersama Alex Widya S. Diduga, Kasdam Jaya menggerakkan pasukan pemukul Kodam Jaya, yaitu Brigade Infanteri 1/Jaya Sakti/Pengamanan Ibu Kota pimpinan Kolonel Inf. Tri Tamtomo untuk melakukan penyerbuan. Seperti tercatat di dokumen itu, rekaman video peristiwa itu menampilkan pasukan Batalion Infanteri 201/Jaya Yudha menyerbu dengan menyamar seolah-olah massa PDI pro-Kongres Medan. Fakta serupa terungkap dalam dokumen Paparan Polri tentang Hasil Penyidikan Kasus 27 Juli 1996, di Komisi I dan II DPR RI, 26 Juni 2000.[1]
Latar Belakang
Soeharto dan pembantu militernya merekayasa Kongres PDI di Medan dan mendudukkan kembali Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI. Rekayasa pemerintahan Orde Baru untuk menggulingkan Megawati itu dilawan pendukung Megawati dengan menggelar mimbar bebas di Kantor DPP PDI.
Mimbar bebas yang menghadirkan sejumlah tokoh kritis dan aktivis penentang Orde Baru, telah mampu membangkitkan kesadaran kritis rakyat atas perilaku politik Orde Baru. Sehingga ketika terjadi pengambilalihan secara paksa, perlawanan dari rakyat pun terjadi.
Pasca Orde Baru

Pengadilan Koneksitas yang digelar pada era Presiden Megawati hanya mampu membuktikan seorang buruh bernama Jonathan Marpaung yang terbukti mengerahkan massa dan melempar batu ke Kantor PDI. Ia dihukum dua bulan sepuluh hari, sementara dua perwira militer yang diadili, Kol CZI Budi Purnama (mantan Komandan Detasemen Intel Kodam Jaya) dan Letnan Satu (Inf) Suharto (mantan Komandan Kompi C Detasemen Intel Kodam Jaya) divonis bebas.
Garis waktu

  • Pukul 01.00

Di Markas PDI ada sekitar 300 orang yang berjaga -- suatu kebiasaan dilakukan sejak Kongres Medan lalu. Di luar pagar, ada sekitar 50 orang. Satgas dan simpatisan Megawati mulai terlelap dan sebagian ada yang main catur di pinggir pelataran kantor dan juga di Jalan Diponegoro dengan beralaskan terpal.
  • Pukul 03.00
Para pendukung Mega mulai mencium sesuatu bakal terjadi, setelah patroli mobil polisi berkali-kali melintas. Sebagian dari mereka mencoba memantau keadaan dari jembatan kereta api Cikini.
  • Pukul 05.00
Serombongan pasukan berbaju merah, kaus PDI, bergerak menuju Diponegoro 58. Konon mereka diangkut dengan delapan truk.
  • Pukul 06.15

Pasukan berkaus merah tadi akhirnya sampai di depan Kantor PDI dan kedatangan mereka disambut para pendukung Mega dengan lemparan batu. Pasukan merah tadi pun membalas dengan batu dan lontaran api. Maka, spanduk yang menutupi hampir semua bagian depan Kantor PDI terbakar ludes. Bentrok fisik pun tak terhindarkan. Sebuah sumber mengatakan ada empat orang tewas, tapi angka ini belum dikonfirmasi.
Semua jalan menuju ke arah Diponegoro sudah diblokir oleh kesatuan polisi. Perempatan Matraman menuju ke Jalan Proklamasi ditutup dengan seng-seng Dinas Pekerjaan Umum yang sedang dipakai dalam pembangunan jembatan layang Pramuka-Jalan Tambak.
Massa sudah berkumpul di depan Bank BII Megaria. Sedang di samping pos polisi sudah bersiap dua mobil anti huru-hara dan empat mobil pemadam kebakaran persis di depan DPP PDI. Polisi anti huru-hara terlihat ketat di belakang mobil anti huru-hara dan di depan Kantor PDI.
  • Pukul 09.15

Di samping Kantor PDI (dan PPP) terlihat massa -- yang tampaknya bukan dari PDI -- sedang baku lempar batu dengan ABRI yang bertameng dan bersenjatakan pentungan. Massa terus melawan dengan melempar batu.
  • Pukul 09. 24

Massa di belakang Gedung SMP 8 dan 9, di samping Kantor PDI dan PPP, mulai terdesak mundur ketika ada bantuan pasukan yang tadinya hanya berjaga-jaga di bawah jembatan kereta api. Mereka dipukul mundur sampai di belakang Gedung Proklamasi. Tiga wartawan foto mulai membidik massa yang lari tunggang langgang, Sedang salah seorang wartawan foto mendekati pasukan loreng dan berusaha mengambil gambar. Tiba-tiba seorang wartawan foto -- yang belakangan diketahui bernama Sukma dari majalah Ummat -- terlihat dipukuli pasukan loreng dan diseret bajunya (Lihat berita KOMPAS, 29 Juli 1996). Dari sana Sukma -- dengan menarik bajunya -- dibawa ke belakang Gedung SMP 8 dan 9 Jakarta, tempat pasukan loreng berkumpul yang berjarak 300 meter dari tempat pertama pemukulan.

  • Pukul 09. 35
­
Massa di depan Megaria yang diblokade pasukan polisi anti huru-hara, melempar batu ketika mobil ambulans dari Sub Dinas Kebakaran Jakarta yang meluncur dari kantor DPP PDI mencoba menerobos kerumanan massa dan polisi di depan Bank BII di pertigaan Megaria. Massa yang berada di depan gedung bioskop Megaria dan Bank BII, berteriak-teriak dan bernyanyi, "Mega pasti menang, pasti menang, pasti menang".
  • Pukul 09. 45

Wartawan dalam dan luar negeri, yang sedari pagi berkumpul di depan pos polisi, mulai dihalau oleh pasukan anti huru-hara menuju kerumunan massa di depan Bank BII.
Saat itu juga terlihat kepulan asap hitam membubung dari DPP PDI. Salah seorang satgas PDI pro Mega mengatakan bahwa sebagian Kantor PDI sempat dibakar dan arsip-arsip di dalam kantor sudah dimusnahkan. Korban tewas dari PDI pro Megawati yang berada di DPP diperkirakan empat orang. Sekitar 300 orang luka parah, 50 orang diantaranya dari cabang-cabang Jawa Timur yang tengah berjaga-jaga di Kantor PDI.
Jalan Diponegoro di depan DPP PDI mulai dibersihkan dari batu-batu dan bekas kebakaran. Seonggok bangkai mobil dan motor yang terbakar juga disiram dan berada persis di depan pintu masuk Kantor PDI.

  • Pukul 11. 30

Ribuan massa terus bertambah dan terpisah letaknya di tiga tempat. Yaitu di depan Bioskop Megaria, di depan BII, serta di depan Telkom, persis di depan jalan tempat Proyek Apartemen Menteng. Mereka menjadi satu kerumunan besar di pos polisi di bawah jembatan kereta api layang. Belum lagi massa dari arah Selatan di bawah jembatan layang kereta api yang sebelumnya dipukul mundur, sudah mulai bergerak maju dan menjadi satu kembali dengan massa besar tadi.
Mimbar bebas pun digelar. Helikopter polisi terus memantau massa yang mulai mengadakan mimbar bebas. Dipandu aktivis pemuda, mimbar bebas menjadi ajang umpatan pada aparat keamanan, dan sanjungan untuk Mega. "Mega pasti menang, pasti menang, pasti menang.....," terus terdengar. Massa yang masih di dalam pagar lintasan kereta api mulai merobohkan pagar besi, lantas menyatu dengan massa peserta mimbar bebas.


  • Pukul 11. 40

Massa yang berada di dalam pagar lintasan kereta api mulai melempar batu ke arah aparat yang sudah berjaga-jaga di depan SMP 8 dan 9 Jakarta. Terdengar dari kejauhan massa di mimbar bebas terus berteriak mengecam aparat berseragam loreng. Batu-batu yang beterbangan membuat wartawan berlindung di belakang blokade polisi dan sebagian lagi menyelamatkan diri dengan berlindung di mobil anti huru-hara.
Pihak kepolisian Jakarta Pusat berusaha menenangkan massa yang melempari pasukan dari Yon Kavaleri VII dan Yon Armed 7 Jayakarta. Massa yang terus bergerak membuat pasukan berseragam loreng bertahan di sekitar Jalan Pegangsaan Timur.
Di depan pos polisi, massa yang terus bertambah jumlahnya memenuhi pentas mimbar bebas. Massa di depan bioskop Megaria merobohkan pagar besi pembatas jalan dan bergabung menyaksikan mimbar bebas. Salah seorang tampak berdiri di tengah lingkaran massa dengan membawa tongkat berbendera Merah Putih yang dikibarkan setengah tinggi tongkat. Dia berteriak, "Kita di sini menjadi saksi sejarah. Kawan-kawan kita mati di dalam Kantor PDI. Kita harus menunggu komando langsung dari Ibu Mega," teriaknya lantang. Yang lain menyanyikan, "Satu komando..... satu tindakan." Kemudian ada doa bersama untuk mereka yang tewas.

  • Pukul 12. 40

Pihak keamanan meminta utusan mimbar bebas untuk bersama-sama pihak keamanan masuk melihat situasi di dalam Kantor PDI. Lima orang akhirnya dipilih, sementara mimbar bebas terus berjalan.
  • Pukul 12. 45

Bantuan polisi dari satuan Sabhara Polda Metro Jaya mulai berdatangan memenuhi jalan depan Kantor PDI. Sedang lima orang utusan di bawah pimpinan Drs. Abdurrahman Saleh, bekas pengurus Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, masuk ke dalam kantor DPP yang porak poranda. Sekitar lima menit berada di dalam Kantor PDI, lima utusan tadi ke luar. Salah seorang wakil utusan, ketika ditanya TEMPO Interaktif tentang bagaimana kondisi di dalam kantor DPP, mengatakan, "Di dalam tidak ada apa-apa; darah berceceran di semua ruangan." Orang ini bercerita sambil menahan tangis; matanya sarat air mata, sambil membawa jaket merah PDI bernama dada Nico Daryanto, mantan Sekretaris Jenderal PDI, dan satu spanduk merah.
Kelima utusan tersebut didaulat naik ke atas mobil anti huru-hara untuk melaporkan keadaan di dalam gedung. Baru beberapa kata terucap dari utusan tadi, sebuah batu melayang entah darimana dan mengenai tangan seorang utusan yang berdiri di atas mobil anti huru-hara. Akhirnya, laporan keadaan Kantor PDI berhenti sampai di situ.
  • Pukul 13. 52

Pengacara Megawati, RO Tambunan, berpidato di depan Kantor PDI. Dia mengatakan, "Kita menduduki Kantor DPP karena Megawati adalah pimpinan yang syah. Negara ini adalah negara hukum, jadi tunggu proses hukum selesai," katanya keras. Yang dimaksud Tambunan adalah proses hukum berupa tuntutan Megawati ke alamat Soerjadi dan sejumlah pejabat pemerintah di pengadilan yang sampai kini masih disidangkan, sehingga status Kantor PDI belum diputuskan.
Menurut RO Tambunan, Kapolres Jakarta Pusat sudah berjanji tidak seorang pun diperkenankan masuk, termasuk kubu Soerjadi. Barang-barang tak satu pun boleh keluar dari dalam kantor; pihak pengacara akan mendaftar barang-barang DPP. "Ini negara hukum, kita harus turuti perintah hukum," ujar Tambunan.
  • Pukul 14. 05

Soetardjo Soerjogoeritno, salah satu pimpinan DPP PDI yang pro Megawati, tiba-tiba terlihat berjalan mendekati Kantor PDI. Sesaat kemudian Soerjogoeritno bicara dengan Kapolres Jakarta Pusat soal status Kantor PDI.
Massa yang mencoba mendekati Soerjogoeritno dihalau anggota Brimob yang bersiaga dengan anjing pelacak. Tapi, melihat ribuan orang, dua anjing herder itu tak berani bergerak mengejar massa. Massa makin berani. "Kami ini manusia, kok dikasih anjing," kata seseorang marah. Siang itu pula setumpuk koran Terbit yang memberitakan Kantor DPP PDI Diserbu, ramai-ramai dirobek-robek.
  • Pukul 14. 29

Hujan batu terjadi. Massa yang di berada depan pos polisi melempari barikade polisi anti huru-hara. Satuan anti kerusuhan itu terpaksa mundur dan berlindung dari hujan batu. Mobil anti huru-hara yang tetap nongkrong di bawah jembatan layang dilempari batu bertubi-tubi. Dua lapis barisan polisi dan tentara bergerak maju. Dengan tameng dan tongkat mereka merangsek maju menghalau massa. Maka, ribuan orang itu beringsut mundur ke arah Salemba.
Ada sekitar seratus orang yang berlindung di dalam gedung Kedutaan Besar Palestina, persis di depan Kantor PDI. Di samping Kantor PDI, di Kantor PPP, terlihat puluhan wartawan berkumpul. Sementara itu, polisi dan tentara mengejar massa sampai di depan Rumah Sakit Cipto (RSCM). Beberapa orang terlihat dipentung dengan rotan. Seorang siswa STM 1 Jakarta, menangis di depan bioskop Megaria -- lengannya patah ketika menangkis pukulan dan pentungan petugas. Di depan Megaria itu suasananya gaduh, ambulans meraung-raung terus menerus. Korban-korban yang bocor kepalanya dan luka-luka diseret ke depan Kantor PDI dan menjadi bidikan foto wartawan.
  • Pukul 15. 00

Enam buah panser mulai berdatangan di depan pos polisi Megaria. Persis di depan Rumah Sakit Cipto (RSCM), sebuah bus tingkat dibakar massa. Tak jauh dari bus yang terbakar, satu lagi bus PPD nomor trayek 40, disiram bensin dan dibakar dengan sebuah korek api. Terbakarlah bus jurusan Kampung Rambutan-Kota itu.

  • Pukul 15. 37

Persis di depan Fakultas Kedokteran UI Salemba, sebuah bus Patas PPD nomor trayek 2, habis terbakar. Ribuan massa mulai mencabuti rambu-rambu lalu lintas dan menghancurkan lampu lalu-lintas di pertigaan Salemba. Asrama Kowad -- yaitu gedung Persit Kartika Candra Kirana -- merupakan gedung pertama yang diamuk massa. Pertama-tama dengan lemparan batu dari luar, kemudian massa masuk ke halaman, dan membakar gedung tersebut. Sebuah kendaraan jip yang diparkir di halaman dibakar massa, menimbulkan api yang besar.
Wisma Honda yang terletak di sebelah Barat gedung Persit, tak luput dari lemparan batu. Tapi, beberapa jam kemudian, gedung Honda itu pun habis dilalap si jago merah. Massa kemudian bergerak ke arah Selatan dan membakar Gedung Departemen Pertanian yang berlantai delapan. Sebuah sedan Mercy juga dibakar habis.
  • Pukul 15. 55

Massa terus bergerak ke arah Matraman. Maka, beberapa gedung pun jadi korban amukan api yang disulut massa. Pertama-tama gedung Bank Swansarindo Internasional. Api yang berasal dari karpet lantai dan korden jendela kaca itu dengan cepat merambat ke atas gedung berlantai lima ini. Show room Auto 2000 yang berada disebelahnya juga tidak luput dari amukan massa dan dibakar beserta mobil yang dipamerkan di dalamnya. Selanjutnya Bank Mayapada juga dibakar massa.
Ribuan massa terus bergerak ke arah Matraman. Dengan tembakan ke udara, massa mulai tercerai-berai. Sebagian ke arah Pramuka, sebagian lagi ke arah Proyek Perdagangan Senen. Sebelumnya, seorang polisi kelihatan memegangi kepalanya yang bocor kena lemparan batu. Dia berkata kepada seorang rekannya yang berseragam loreng, "Bapak yang bawa senjata ke depan saja Pak."
  • Pukul 16. 19

Massa rupanya melempari Bank BHS di Jalan Matraman. Kelihatan api mulai menyala di samping gedung BHS, tetapi tidak sampai menyentuh gedung bank itu karena sepasukan tentara berbaret hitam dengan tronton pengangkut pasukan segera tiba.
Sedangkan jalan Salemba Raya terlihat gelap. Asap hitam tebal dari gedung Bank Mayapada dan Auto 2000 membubung ke udara. Massa yang bergerak ke arah Salemba inilah yang kemudian membakar gedung Darmex, Gedung Telkom, terus sampai ke arah Senen. Namun mereka dihalau panser tentara dan gagal mencapai Senen.
  • Pukul 16. 33

Tiga panser didatangkan ke perempatan Matraman. Panser ini berhasil membubarkan massa yang merusak semua rambu-rambu lalu lintas.

  • Pukul 19.00

Massa di Jalan Proklamasi mulai berkerumun. Tak lama kemudian mereka membakar toko Circle K, Studio SS Foto, dan beberapa bangunan lagi. Aksi dikabarkan berlangsung sampai pukul 01.00 dinihari.
Buku dan penelitian

Peristiwa 27 Juli menghasilkan sejumlah buku dan sejumlah penelitian. Pejabat militer juga menulis buku untuk menjelaskan posisinya dalam kasus itu. Benny S Butarbutar, yang menulis buku Soeyono Bukan Puntung Rokok (2003), memaparkan Kasus 27 Juli dari perspektif Soeyono yang kala itu menjabat Kepala Staf Umum ABRI. Ia membangun teori persaingan srikandi kembar antara Megawati dan Siti Hardijanti Rukmana sebagai latar terjadinya Kasus 27 Juli. Ia juga memaparkan, rivalitas di tubuh tentara yang membuatnya tersingkir dari militer. Soeyono menyebutnya sebagai Killing the Sitting Duck Game, rekayasa untuk "Membunuh Bebek Lumpuh." Sehari sebelum kejadian, Soeyono mengalami kecelakaan di Bolaang Mongondow.
Buku lain yang muncul adalah Membongkar Misteri Sabtu Kelabu 27 Juli 1996 dengan editor Darmanto Jatman (2001). Tim peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia juga membukukan hasil penelitian mengenai Militer dan Politik Kekerasan Orde Baru-Soeharto di Belakang Peristiwa 27 Juli? (2001).

Peringatan

Pada Rabu 26 Juli 2006, Malam Dasawarsa Tragedi 27 Juli 1996 digelar di bekas Kantor Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Jalan Diponegoro Nomor 58, Menteng, Jakarta Pusat. Acara hanya dihadiri keluarga korban dan saksi mata peristiwa ini. Petinggi partai yang sudah berubah nama menjadi PDI Perjuangan tidak terlihat hadir. Begitu juga Ketua Umum PDIP Megawati Sukarnoputri. Walau begitu acara berjalan khidmat. Setelah tahlilan, peringatan itu diteruskan pemotongan tumpeng kemudian ditutup dengan renungan.

 
posted by IyhanQ at 1:01 AM ¤ Permalink ¤ 1 comments